Dua Warga Adat Mentawai Ditahan Meski Sudah Berdamai -->

Iklan Atas

Dua Warga Adat Mentawai Ditahan Meski Sudah Berdamai

Rabu, 22 Oktober 2025
Padang Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melaporkan penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Kepulauan Mentawai ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sumatera Barat. Laporan ini diajukan karena penyidik diduga melanggar prinsip keadilan dan kepastian hukum dengan tetap menahan dua warga masyarakat adat Mentawai meskipun perkara sudah diselesaikan melalui mekanisme restorative justice.

Dua warga adat yang dimaksud adalah Nulker dan Rusmin, yang telah menjalani penahanan selama delapan hari tanpa kejelasan status hukum.

“Alih-alih menghentikan perkara setelah perdamaian tercapai, penyidik justru memperpanjang masa penahanan. Karena itu, kami melaporkan tindakan ini ke Propam Polda Sumbar sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat adat,” ujar Kepala Divisi Advokasi LBH Padang, Adrizal, Selasa (21/10/2025).

Sengketa adat berujung pidana

Kasus ini bermula dari sengketa adat terkait denda (tulo) terhadap dua warga yang dituduh melakukan praktik santet. Persoalan tersebut difasilitasi oleh seorang pejabat publik dan berujung pada hilangnya tanah milik kelompok adat Tatubeket, yang memicu kekecewaan di kalangan masyarakat.

Pada 6 November 2024, sejumlah warga mendatangi kantor Camat Sipora Utara untuk meminta penjelasan. Dalam pertemuan itu, Nulker dan Rusmin sempat berdebat dengan pejabat setempat dan terjadi insiden kecil tanpa adanya korban luka. Meski begitu, peristiwa itu dilaporkan ke polisi dengan pasal berlapis, antara lain Pasal 211, 212, 214, dan 170 KUHP.

Perdamaian telah tercapai

Melalui mediasi yang difasilitasi tokoh masyarakat, pihak pelapor dan terlapor sepakat berdamai. Pelapor bahkan menyerahkan surat pencabutan laporan kepada Kapolres Kepulauan Mentawai dan penyidik Satreskrim, disertai surat kesepakatan damai tertulis yang ditandatangani pada 13 Oktober 2025.

Namun sehari kemudian, penyidik berjanji akan menggelar perkara untuk menegaskan status hukum kedua tersangka. Dua hari berselang, Kasat Reskrim justru menyampaikan bahwa masih diperlukan klarifikasi ulang soal ganti rugi, meski dalam surat perdamaian sudah dijelaskan bahwa “biaya” yang dimaksud hanya bersifat administratif, seperti cetak dan materai, bukan ganti rugi hukum.

Hingga 19 Oktober 2025, penyidik belum juga memberikan keputusan dan justru memperpanjang masa penahanan.

“Semua unsur perdamaian sudah terpenuhi, bahkan pelapor sudah mengonfirmasi langsung kesepakatan tersebut. Langkah penyidik memperpanjang penahanan ini jelas tidak berdasar,” tegas Adrizal.

Dugaan pelanggaran etik dan pengabaian keadilan

LBH Padang menilai tindakan penyidik tersebut menunjukkan lemahnya profesionalisme dan mengabaikan prinsip restorative justice. Dua warga adat yang sudah berdamai masih ditahan tanpa alasan hukum yang jelas.

“Penyidik seolah menunda penyelesaian dan mengesampingkan semangat perdamaian. Ini bisa dikategorikan sebagai unfair trial,” ujar Adrizal.

Menurutnya, penolakan penyidik terhadap surat perdamaian hanya karena tidak mencantumkan klausul ganti rugi merupakan bentuk kekeliruan logika hukum. “Padahal pelapor sendiri sudah menegaskan bahwa yang dimaksud hanya biaya administrasi kecil, bukan kompensasi hukum,” tambahnya.

Adrizal menilai langkah penyidik memperpanjang penahanan justru mengulur waktu dan menggantung nasib warga adat tanpa dasar yang sah. Padahal, hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium — upaya terakhir, bukan sarana untuk menghukum secara emosional.

LBH tuntut akuntabilitas

LBH Padang menegaskan bahwa penyidik wajib menindaklanjuti pencabutan laporan dan segera melakukan gelar perkara sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

“LBH Padang akan menempuh langkah hukum dan etik lanjutan demi memastikan akuntabilitas serta profesionalisme aparat penegak hukum,” tutup Adrizal.
Ia menegaskan, “Keadilan tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari keberanian untuk menghormati hukum dan mendengar suara rakyat.”(des*)