Kemendagri dan Kemenkeu Kompak, Tito Tegaskan Dana Daerah Harus Segera Dibelanjakan -->

Iklan Atas

Kemendagri dan Kemenkeu Kompak, Tito Tegaskan Dana Daerah Harus Segera Dibelanjakan

Sabtu, 25 Oktober 2025
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian


Jakarta – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian memberikan penjelasan terkait perbedaan angka simpanan pemerintah daerah (Pemda) yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurutnya, selisih tersebut bukan disebabkan perbedaan prinsip, melainkan hanya persoalan teknis dalam metode pencatatan dan pelaporan.

Tito menegaskan bahwa baik Kemendagri maupun Kemenkeu memiliki visi yang sama, yaitu mendorong agar dana daerah tidak mengendap di bank dan segera dimanfaatkan untuk kepentingan publik.

“Intinya kita sepakat, dana daerah jangan hanya disimpan di perbankan. Harus segera digunakan untuk membiayai program yang bermanfaat bagi masyarakat,” ujar Tito, Sabtu (25/10/2025).

Mantan Kapolri tersebut menjelaskan, selisih sekitar Rp18 triliun antara data dua kementerian merupakan hal yang wajar. Ia menyebutkan bahwa penurunan dari Rp233 triliun pada Agustus menjadi Rp215 triliun di Oktober menandakan dana tersebut sudah mulai dibelanjakan oleh daerah.

“Artinya uang itu bergerak, bukan diam. Jadi selisih tersebut menunjukkan adanya realisasi belanja daerah,” jelasnya.

Tito menambahkan, koordinasi antara Kemenkeu dan Kemendagri tetap berjalan baik karena keduanya memiliki semangat yang sama: mempercepat penyerapan anggaran agar manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Perbedaan Data Dinilai Wajar dan Bersifat Metodologis

Dosen Hukum Pemerintahan Daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Hestu Cipto Handoyo, juga menilai bahwa perbedaan data tersebut tidak perlu diperdebatkan. Ia menegaskan, baik Mendagri maupun Menkeu memiliki misi serupa, yaitu memastikan uang daerah tidak menumpuk di rekening perbankan.

“Keduanya berupaya menegakkan disiplin fiskal di tingkat daerah. Jadi perbedaan angka jangan dianggap perbedaan arah kebijakan, karena tujuannya tetap sama: memastikan uang rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat,” ujarnya.

Menurut Hestu, perbedaan sekitar Rp18 triliun bukanlah indikasi adanya penyimpangan, melainkan konsekuensi logis dari perbedaan sistem dan waktu pelaporan data.

Ia menjelaskan bahwa data yang digunakan Kemenkeu bersumber dari Bank Indonesia (BI) dan menggambarkan posisi saldo simpanan Pemda di bank pada tanggal tertentu (cut-off), biasanya di akhir bulan.

Sementara itu, Kemendagri mengandalkan Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD), yang menggunakan laporan harian dari Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) sesuai Permendagri Nomor 70 Tahun 2019.

“SIPD mencatat kondisi kas daerah secara dinamis dan real-time, sedangkan data BI bersifat statis berdasarkan posisi saldo di waktu tertentu. Jadi, perbedaan hasilnya sangat mungkin terjadi,” jelasnya.

Tiga Faktor Utama Penyebab Selisih Data

Lebih lanjut, Hestu memaparkan setidaknya ada tiga penyebab utama yang memunculkan perbedaan angka antara data BI dan SIPD:

Perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara kedua sistem.

Perbedaan definisi akun, di mana beberapa rekening atas nama Pemda belum tentu dikategorikan sebagai kas operasional daerah.

Kendala teknis, seperti keterlambatan input data di daerah akibat keterbatasan SDM atau sistem pelaporan.

Sebagai langkah solusi, Hestu menyarankan agar hasil rekonsiliasi data dilakukan dan diumumkan secara bersama oleh BI, Kemenkeu, dan Kemendagri untuk memastikan transparansi dan mencegah salah tafsir publik.

Rekonsiliasi lintas lembaga sangat penting untuk menjaga akurasi serta akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah,” tutupnya.(BY)