Jakarta – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyoroti kompleksitas tantangan hukum di era digital yang semakin berkembang, terutama akibat kemajuan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain.
“Di era digital, tantangan di bidang hukum menjadi lebih rumit. Teknologi seperti AI dan blockchain kini mulai menyentuh ranah hukum,” ujar Yusril saat menyampaikan materi dalam Konferensi Hukum Internasional yang diselenggarakan Universitas Andalas (Unand), Padang, Senin (3/11).
Yusril menekankan bahwa kondisi ini menuntut sistem peradilan Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan dinamika digital. Ia menyebut Mahkamah Agung telah memulai transformasi melalui penerapan sistem e-court dan publikasi daring sebagai langkah adaptasi.
Namun, menurutnya, kemajuan teknologi harus diimbangi dengan perubahan pola pikir dan pendekatan yudisial, mengingat munculnya karakteristik baru dalam penanganan kasus hukum di dunia digital.
“Fenomena di media sosial seperti ‘no viral, no justice’ menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap sistem hukum. Kasus yang viral kerap mendapat perhatian lebih, sementara yang tidak viral sering terabaikan,” ujarnya.
Dalam kuliah umumnya, Yusril juga menyinggung sejarah pembentukan hukum nasional setelah Proklamasi 1945. Ia menjelaskan, meski Indonesia awalnya mewarisi berbagai peraturan kolonial, bangsa ini kemudian membangun fondasi hukum baru yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 hasil amandemen.
Menurut Yusril, doktrin Pancasila yang dirumuskan Soepomo dan para pendiri hukum nasional menekankan pentingnya sistem hukum yang berakar pada hukum adat dan nilai budaya bangsa.
“Sejarah panjang ini menunjukkan bahwa hukum Indonesia bersifat pluralistik, mengintegrasikan prinsip rule of law ala Barat, keadilan sosial-budaya, serta nilai moral dan agama,” tutup Yusril.(des*)
Komentar