Penelitian Ungkap Merokok Tak Redakan Stres, Malah Perburuknya -->

Iklan Atas

Penelitian Ungkap Merokok Tak Redakan Stres, Malah Perburuknya

Minggu, 02 November 2025
Rokok tak hanya merusak kesehatan secara fisik, tapi juga mental. 



Jakarta – Banyak orang masih percaya bahwa merokok dapat membantu meredakan stres dan membuat pikiran lebih tenang. Namun, berbagai penelitian medis justru menunjukkan hal yang berlawanan — kebiasaan merokok ternyata dapat memperburuk kondisi kesehatan mental seseorang.

Penelitian menemukan bahwa perokok lebih rentan mengalami gangguan seperti kecemasan, depresi, hingga gangguan tidur, dibandingkan mereka yang tidak merokok.

Efek Nikotin: Tenang Sesaat, Candu Berkepanjangan

Zat nikotin yang terkandung dalam rokok memang dapat memberikan sensasi rileks sesaat. Ketika dihirup, nikotin dengan cepat masuk ke otak dan memicu pelepasan dopamin, yaitu senyawa kimia yang memunculkan perasaan senang dan fokus.

Namun, efek tersebut hanya berlangsung sementara. Begitu kadar nikotin menurun, kadar dopamin juga ikut turun, menyebabkan suasana hati memburuk. Akibatnya, muncul dorongan kuat untuk kembali merokok demi mendapatkan efek “tenang” yang sama.

Seiring waktu, otak menjadi terbiasa dengan asupan nikotin dan berhenti memproduksi dopamin secara alami. Kondisi inilah yang membuat perokok sulit merasa bahagia atau rileks tanpa sebatang rokok.

Ilusi Rileks yang Menipu

Banyak perokok mengaku merasa lebih santai setelah merokok, padahal secara biologis tubuh mereka justru sedang mengalami peningkatan detak jantung dan tekanan darah — dua indikator utama stres.

Ketika efek nikotin mulai hilang, tubuh akan memunculkan gejala seperti gelisah, sulit berkonsentrasi, hingga perubahan suasana hati yang drastis. Dengan kata lain, rokok bukan menghilangkan stres, melainkan hanya menunda dan menutupinya untuk sementara waktu.

Begitu efeknya mereda, stres yang semula tertahan justru muncul kembali dalam intensitas yang lebih besar.

Kaitannya dengan Depresi dan Kecemasan

Beberapa riset menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi. Nikotin memang memberikan sensasi euforia singkat, namun tubuh cepat menagih efek tersebut berulang kali.

Jika keinginan merokok tidak terpenuhi, suasana hati bisa menurun tajam. Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa perokok berat cenderung memiliki kadar serotonin dan dopamin yang lebih rendah — dua zat penting yang menjaga kestabilan emosi dan rasa bahagia.

Dalam jangka panjang, nikotin justru memperparah gejala kecemasan. Ketika kadar nikotin menurun, tubuh bisa merespons seperti sedang mengalami serangan panik: napas menjadi cepat, jantung berdebar, dan pikiran terasa kacau.

Hal inilah yang membuat banyak orang sulit berhenti merokok, bukan karena kenikmatan yang ditawarkan, tetapi karena tubuh mereka berusaha menghindari rasa gelisah akibat kekurangan nikotin.

Dampak Lebih Parah bagi Penderita Gangguan Mental

Bagi individu yang sudah memiliki gangguan kejiwaan seperti depresi berat atau skizofrenia, rokok dapat memperburuk kondisi kesehatan mental mereka. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perokok dengan gangguan mental memiliki tingkat kesembuhan yang lebih rendah serta harapan hidup yang lebih pendek dibandingkan non-perokok.

Selain itu, nikotin dapat mengganggu efektivitas obat antidepresan dan obat penenang, membuat proses penyembuhan menjadi lebih sulit.

Berhenti Merokok, Pulih Secara Fisik dan Mental

Kabar baiknya, berhenti merokok bisa membawa manfaat besar, tidak hanya bagi tubuh tetapi juga bagi kesehatan mental. Dalam beberapa minggu setelah bebas nikotin, otak mulai menyeimbangkan kembali produksi dopamin dan serotonin secara alami.

Banyak mantan perokok melaporkan bahwa setelah berhenti, mereka merasa lebih tenang, tidur lebih nyenyak, dan memiliki energi yang lebih stabil sepanjang hari.

Berhenti merokok memang bukan hal mudah, tetapi langkah ini terbukti dapat memulihkan keseimbangan emosi dan memperbaiki kualitas hidup secara menyeluruh.(BY)