![]() |
Screening film MAHEFF Short Movie Festival 2025 di CGV Padang. |
Padang, fajarsumbar.com-"Harago sadang turun, Mak."
"Ndak baa do, Nak. Saitu lo rasaki awak."
Itulah penggalan dialog yang paling berarti. Selebihnya, gambar yang berbicara. Seorang perempuan tua keluar dari rumah kayunya. Pergi ke pasar untuk membeli bunga rampai. Bunga rampai dibawa ke jembatan Ratapan Ibu. Perempuan tua menabur bunga rampai ke Batang Agam. Ia melakukan hal itu sebagai rutinitas. Orang-orang menyebutnya perempuan stres. Tapi, perempuan tua punya alasan yang kuat. Ia menabur bunga rampai untuk mengenang sang suami yang terbunuh di Jembatan Ratapan Ibu.
Jembatan Ratapan Ibu merupakan jembatan bersejarah di Kota Payakumbuh. Dibangun ketika penjajah Belanda masuk ke kota gelamai. Di jembatan itu terjadi kisah paling heroik. Pejuang mati bersimbah darah ketika melawan penjajah. Ada pula jejak PRRI di sana. Latar sejarah itu menjadi ilham film pendek berjudul Bungo Rampai. Film garapan Youth Artee Commite dengan sutradara Eko Doni Putra. Film Bungo Rampai ditayangkan dalam Screening MAHEFF Short Movie Competition, Sabtu malam (19/7) di Studio 4 CGV Padang. Bungo Rampai ditayangkan bersama film-film lain yang menjadi finalis dalam lomba film pendek yang menjadi rangkaian kegiatan Malayapura Heritage Film Festival yang dilaksanakan Malayapura Film bekerjasama dengan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah III Provinsi Sumatera Barat.
Bungo Rampai merupakan film yang pertama ditayangkan dari enam film yang masuk sebagai finalis. Finalis masing-masing tiga film yang terbagi atas dua kategori, yaitu kategori umum/mahasiswa dan kategori pelajar. Bungo Rampai masuk dalam kategori umum/mahasiswa. Film ini mendapat perhatian pengunjung MAHEFF 2025.
Film yang minim dialog. Hanya gambar-gambar buram yang menunjukan waktu sekitar tahun 2000-an. Namun, gambar-gambar itu berbicara melebihi kata-kata. Bungo Rampai menyuguhkan makna yang kuat pada gambar-gambar. Mengoyak rasa yang paling dalam setiap orang yang melihatnya.
Setiap hari, perempuan tua menyuguhkan makanan di meja makan. Ia selalu meletakan dua piring di meja makan. Sebuah piring untuk dirinya, piring yang lain tak pernah menjadi piring untuk orang lain. Dalam rangkaian cerita, penonton pasti mengira piring yang lain untuk anak laki-laki perempuan tua yang menjadi juru parkir di Pasar Ibuh. Pemaknaan itu terbantahkan. Sebah, sang anak laki-laki selalu terlambat datang ke rumah ibunya. Ada makna yang disembunyikan. Perempuan tua menyuguhkan piring untuk sang suami yang mati di Jembatan Ratapan Ibu. Makna yang menyayat hati. Betapa perempuan tua selalu ingin mengenang kebersamaan dengan sang belahan jiwa. Bukti cinta yang kuat seorang perempuan.
Secara tematik, film-film yang masuk sebagai finalis MAHEFF Short Movie Competition sangat kuat. Misalnya, film Eulis Pulang, produksi Tanjung Production dengan sutradara Jhoni Ambarita. Film ini semacam gugatan terhadap matrilineal Minangkabau. Menjadi orang Sunda, Eulis akhirnya mengetahui akar dirinya. Ternyata, ia memiliki suku dari keturunan ibunya. Eulis mencari jejak-jejak kaumnya di Kota Bukittinggi. Ia menemukan rumah gadang suku Tanjuang, menemukan datuknya pula. Tapi, tak mudah untuk diakui sebagai perempuan Minang.
Tema-tema dalam MAHEFF Short Movie Competition sangat beragam. Namun sayang, sebagian tidak digarap dengan baik dari sisi sinematografi. Kenyataan itu cukup beralasan. Sebagian besar peserta MAHEFF Short Movie Competition baru pertama kali membuat film.
Salah seorang dewan juri MAHEFF Short Movie Festival, Devy Kurnia Alamsyah menyebutkan, lebih 80 persen peserta MAHEFF Short Movie Festival baru pertama kali membuat film. Hal ini menurut Devy yang merupakan dosen Universitas Negeri Padang, adalah kabar baik. "Begitu besar antusias anak-anak muda Sumbar untuk membuat film. Kita berharap, lambat-laun kemampuan mereka terus terasah," ujar Devy.
Devy mengaku optimis dengan iklim sinematografi di Sumbar. Optimisme itu tak hanya karena tingginya animo pembuat film dalam MAHEFF Short Movie Festival, tapi juga karena semakin banyaknya festival film dilaksanakan di Sumatera Barat.
Secara kualitas, film-film buatan anak muda Sumbar tak kalah dari yang lain. "Beberapa film kita bisa bersaing di festival film yang lebih besar," ujar Devy optimis.
MAHEFF Short Movie Festival telah memberi ruang bagi sineas-sineas Sumatera Barat. Direktur MAHEFF Short Movie Festival, Dafriansyah Putra menyebutkan, Sumatera Barat memiliki banyak objek yang bisa menjadi sumber inspirasi film-film terbaik. Misalnya saja, MAHEFF Short Movie Festival yang membatasi film dengan latar cagar budaya menyuguhkan ide yang tak habis-habisnya. "Sumatera Barat memiliki cagar budaya yang banyak. Cagar budaya di daerah ini termasuk tiga terbanyak di Indonesia. Ini kekayaan yang tak terlinai," ujar Dafriansyah Putra.
MAHEFF Short Movie Festival bertujuan untuk mengangkat khasanah cagar budaya Sumatera Barat. Selain itu, tentu saja menghidupkan kreativitas para pembuat film di daerah ini. Diharapkan, akan lahir sineas-sineas terbaik dari Sumatera Barat yang akan menghasilkan film-film terbaik pula.
MAHEEF Short Movie Festival 2025 merupakan gelaran pertama. Rangkaian festival dimulai 14 Juni hingga 26 Juli mendatang. Rangkaian MAHEFF Short Movie Festival sudah memasuki final. Ada enam film dari dua kategori masuk sebagai finalis. Masing-masing akan menjadi juara satu, dua, dan tiga yang akan diumumkan dalam puncak MAHEFF Short Movie Festival pada 26 Juli di Batusangkar. Film-film yang bersaing untuk kemenangan adalah Bungo Rampai, Eulis Pulang, dan Nan Tajalajah untuk kategori umum/mahasiswa. Untuk kategori pelajar, finalisnya adalah Yang telah Lama Hilang, Suara, dan Jejak Surat Ayah. (Zal)