![]() |
. |
Oleh: Naufal Abdul Fattah
(Mahasiswa Bahasa Inggris/Politeknik Negeri Padang)
Di balik hijaunya perbukitan dan derasnya air terjun Lembah Anai, tersembunyi sebuah lorong gelap yang pernah menjadi nadi utama transportasi di Sumatera Barat: Terowongan Lembah Anai. Tak banyak yang tahu, bahwa terowongan ini adalah bagian dari proyek ambisius pemerintah kolonial Belanda yang dimulai pada 1 Juli 1891.
Melalui perusahaan kereta api milik kolonial, Staatsspoorwegen ter Sumatra's Westkust (SSS), Belanda membangun jalur kereta api yang menghubungkan Padang, Padang Panjang, hingga Sawahlunto. Tujuannya jelas: memindahkan batu bara dari perut bumi Sawahlunto ke pelabuhan Teluk Bayur agar bisa diekspor ke berbagai penjuru dunia.
Namun jalur itu tidak sekadar soal batu bara. Ia juga menjadi urat nadi yang mengangkut hasil bumi Minangkabau—kopi, karet, dan berbagai komoditas pertanian lainnya—menuju kota-kota pesisir. Bagi Belanda, ini adalah soal efisiensi ekonomi. Bagi masyarakat lokal, ini perlahan mengubah cara hidup dan mobilitas mereka.
Membangun rel dan terowongan di Lembah Anai bukan perkara mudah. Medan terjal, curam, dan rawan longsor menjadi tantangan besar. Ribuan pekerja dikerahkan, sebagian besar adalah tenaga kontrak dan warga lokal yang bekerja dalam kondisi serba minim. Tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Namun kerja keras mereka meninggalkan warisan infrastruktur yang kokoh dan mengagumkan hingga kini.
Setelah rampung, Terowongan Lembah Anai menjadi bagian penting dalam jaringan transportasi kolonial yang mempercepat distribusi barang dan mempermudah pergerakan orang. Di masa jayanya, bunyi peluit kereta yang menggema di lembah menjadi bagian dari denyut kehidupan masyarakat.
Namun waktu bergerak cepat. Di era kendaraan bermotor dan jalan raya yang kian luas, kereta api mulai kehilangan pamor. Terowongan Lembah Anai pun ikut terpinggirkan. Ancaman bencana alam seperti banjir dan longsor juga membuat jalur ini kerap rusak dan sulit dipelihara. Biaya operasional yang tinggi dan sejumlah kecelakaan fatal membuat jalur ini perlahan ditinggalkan.
Kini, Terowongan Lembah Anai berdiri dalam senyap. Tak lagi dilalui kereta, ia menjelma jadi saksi bisu dari era ketika rel kereta membelah hutan dan lembah demi sebuah ambisi kolonial. Tapi meski fungsinya telah redup, nilai sejarahnya tak pernah benar-benar padam.
Banyak pihak meyakini, terowongan ini masih menyimpan potensi besar. Jika dikelola dengan tepat, ia bisa menjadi bagian dari jalur transportasi modern yang ramah lingkungan. Atau setidaknya, menjadi destinasi wisata sejarah yang mengajak pengunjung menyusuri lorong waktu—kembali ke masa ketika Sumatera Barat menjadi poros penting dalam peta ekonomi Hindia Belanda.
Di Lembah Anai, sejarah memang tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya menunggu untuk ditemukan kembali.(*)