Harga Batu Bara Melonjak ke US$288,4 per Ton Imbas Sanksi AS ke Rusia -->

Iklan Atas

Harga Batu Bara Melonjak ke US$288,4 per Ton Imbas Sanksi AS ke Rusia

Selasa, 05 April 2022

Kementerian ESDM menetapkan harga batu bara acuan meningkat 41 persen pada April 2022.


Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Harga Batu Bara Acuan (HBA) sebesar US$288,4 per ton pada April 2022. Angka tersebut naik 41,5 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang sebesar US$203,69 per ton.


Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan harga batu bara meningkat karena Amerika Serikat (AS) dan NATO menerapkan sanksi berupa embargo pasokan energi dari Rusia.


"Sanksi embargo energi merupakan buntut dari masih memanasnya konflik Rusia-Ukraina. Harga komoditas batubara global pun ikut terpengaruh," ujar Agung dalam keterangan resmi, Selasa (5/4),sebagaimana dikutip CNNindonesia.com.


Selain itu, kenaikan harga juga dipicu oleh kenaikan permintaan batu bara dari sejumlah negara di tengah pemulihan ekonomi global. Salah satunya China, di mana konsumsi listrik di Negeri Tirai Bambu itu meningkat.


HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt's 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kilokalori per kilogram GAR, total kelembaban 8 persen, total sulfur 0,8 persen, dan abu 15 persen.


Nantinya, harga ini digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batu bara selama satu bulan pada titik serah penjualan secara free on board di atas kapal pengangkut.


Agung menjelaskan terdapat dua faktor turunan yang mempengaruhi pergerakan HBA, yaitu penawaran dan permintaan.


Pada faktor turunan penawaran dipengaruhi oleh cuaca, teknis tambang, kebijakan negara pemasok hingga teknis di rantai pasok, seperti kereta, tongkang, maupun terminal pemuatan.


Sementara, faktor turunan permintaan dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti gas alam cair, nuklir, dan air.(*)