BMKG Dorong Mitigasi Bencana dengan Isu Megathrust -->

Iklan Atas

BMKG Dorong Mitigasi Bencana dengan Isu Megathrust

Jumat, 23 Agustus 2024
ilustrasi


Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan bahwa mereka menyebarluaskan isu tentang megathrust untuk mendorong semua pihak, khususnya pemerintah daerah, agar lebih siap dalam menghadapi potensi gempa dan tsunami dari zona tersebut.**


“Isu megathrust sebenarnya sudah lama ada. Namun, BMKG dan para ahli mengingatkan kembali untuk mendorong tindakan nyata dalam mitigasi bencana,” kata Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, dalam wawancaranya di Jakarta, Rabu (21/8).


Dwikorita menjelaskan bahwa tujuan utama dari peringatan ini adalah untuk meningkatkan upaya mitigasi, edukasi, dan kesiapsiagaan.


Sebelumnya, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, memperingatkan bahwa gempa dari dua zona megathrust—Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut—hanya tinggal menunggu waktu. Hal ini disebabkan oleh lama tidak terjadinya gempa di kedua zona tersebut, yang dikenal dengan istilah seismic gap, yaitu lebih dari dua abad.


**Dwikorita menambahkan bahwa BMKG telah mengambil berbagai langkah antisipasi terhadap megathrust. Pertama, mereka telah memasang sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS yang mengarah ke zona megathrust.**


“InaTEWS dipasang untuk menghadapi megathrust. Ini adalah langkah mitigasi yang kami lakukan,” ujarnya.


Kedua, BMKG fokus pada edukasi masyarakat, baik lokal maupun internasional, termasuk mendampingi pemerintah daerah dalam menyiapkan infrastruktur mitigasi seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, dan shelter tsunami.


BMKG juga bergabung dengan Indian Ocean Tsunami Information Center yang berfungsi untuk mengedukasi 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.**


Ketiga, BMKG secara rutin memeriksa sistem peringatan dini yang telah dihibahkan ke pemerintah daerah.


“Sirine peringatan tsunami adalah tanggung jawab pemerintah daerah untuk pemeliharaannya. Kami melakukan uji coba setiap bulan, tetapi sering kali ada yang tidak berfungsi dengan baik,” tambah Dwikorita.


Keempat, BMKG menyebarluaskan informasi peringatan dini bencana dengan bantuan Kominfo untuk memastikan masyarakat siap menghadapi bencana.


Dwikorita mengungkapkan bahwa BMKG menghadapi tantangan dalam pelaksanaan mitigasi karena kewenangan dan otonomi daerah.


“BMKG berfokus pada aspek teknis dan sistem peringatan dini, tetapi pelaksanaan di lapangan memerlukan koordinasi dengan pemerintah daerah,” jelasnya.


Contoh tantangan tersebut termasuk pemeliharaan jalur evakuasi yang sering terhalang pembangunan atau tidak dipelihara dengan baik.


BMKG mengakui bahwa beberapa pemerintah daerah telah menunjukkan kemajuan dalam mitigasi, seperti DI Yogyakarta, Bali, dan Sumatra Barat. Namun, pergantian kepala daerah sering menyebabkan ketidaksesuaian dalam program penanganan bencana, seperti yang terjadi pada gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah pada 2018.


“Kami sudah mempersiapkan segala sesuatunya sejak 2009, tetapi setelah pergantian pemerintah daerah, banyak persiapan yang tidak dilanjutkan,” katanya.


Tsunami di Palu setinggi 4 hingga 7 meter dan bencana likuefaksi mengakibatkan lebih dari 4.000 korban jiwa. (des)