Satgas BLBI Ganti Nama |
Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyiapkan dana sebesar Rp10,25 miliar untuk menangani hak tagih negara terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2025.
“Anggaran sebesar Rp10,25 miliar ini akan digunakan untuk mendukung upaya dan rencana aksi terkait penanganan hak tagih negara dari kasus BLBI,” kata Wakil Menteri Keuangan I Suahasil Nazara dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR di Jakarta dikutip Antara, Senin (9/9/2024).
Anggaran tersebut akan dialokasikan untuk empat program utama. Pertama, pembentukan Komite Penanganan Hak Tagih Dana BLBI sebagai pengganti Satuan Tugas (Satgas) BLBI.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Rionald Silaban menyebutkan bahwa masa aktif kerja Satgas BLBI akan berakhir pada 31 Desember 2024. Oleh karena itu, diusulkan pembentukan komite tetap untuk menangani hak negara dari kasus BLBI.
“Ini lebih kepada bentuknya. Karena tagihan negara tetap ada. Makanya kami usulkan dibentuk suatu komite tetap,” jelasnya.
Namun, Rionald menambahkan bahwa rencana pembentukan komite ini masih dalam tahap pembicaraan.
Selain itu, anggaran juga akan digunakan untuk melanjutkan upaya pembatasan keperdataan dan/atau layanan publik serta pencegahan bepergian ke luar negeri.
Anggaran tersebut juga akan digunakan untuk meningkatkan penelusuran informasi terkait debitur dan obligor dengan nilai kewajiban besar serta terafiliasi, termasuk bantuan audit investigasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Kemenkeu juga akan mengadakan pelatihan peningkatan kemampuan asset tracing dengan menggandeng pemerintah Amerika Serikat.
Target penanganan hak tagih BLBI pada tahun 2025 adalah sebesar Rp2 triliun, yang terdiri dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp500 miliar, penguasaan fisik Rp500 miliar, dan penyitaan Rp1 triliun.
Sementara itu, hingga 5 September 2024, Satgas BLBI telah mengumpulkan dana sebesar Rp38,88 triliun, terdiri dari PNBP ke kas negara Rp1,84 triliun, sita atau penyerahan barang jaminan Rp18,13 triliun, penguasaan aset properti Rp9,21 triliun, penetapan status penggunaan (PSP) dan hibah Rp5,93 triliun, serta penyertaan modal negara (PMN) non tunai Rp3,77 triliun.(BY)