![]() |
Pemerintah Israel kembali mengklaim bahwa normalisasi hubungan negaranya dengan Arab Saudi |
Washington – Pemerintah Israel kembali menyatakan bahwa proses normalisasi hubungan dengan Arab Saudi saat ini berada pada tahap paling mendekati realisasi dibandingkan sebelumnya. Pernyataan serupa sebelumnya juga pernah disampaikan oleh pejabat Israel sejak konflik dengan Hamas pecah pada 7 Oktober, namun hingga kini belum ada bukti konkret.
Duta Besar Israel untuk Amerika Serikat (AS), Yechiel Leiter, menyebut bahwa rencana normalisasi tersebut semakin nyata berkat kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh mantan Presiden AS, Donald Trump.
Dalam pernyataannya, Leiter juga menyinggung kelompok perlawanan Hamas dan Hizbullah. Ia menilai bahwa upaya Israel dalam memperlemah Hamas, Hizbullah, serta kelompok-kelompok proksi Iran lainnya, termasuk di Suriah, turut berkontribusi dalam mendekatkan hubungan Israel dan Arab Saudi.
"(Trump) adalah tokoh kunci dalam membentuk kembali dinamika di Timur Tengah," ujar Leiter dalam wawancaranya dengan Jerusalem Post.
"Kedekatan kami dengan Arab Saudi semakin meningkat karena melemahnya Hamas serta dampak terhadap pemerintahan Bashar Al Assad di Suriah," tambahnya.
Selama masa jabatannya, Trump berhasil menengahi kesepakatan normalisasi antara Israel dan empat negara Arab, yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, serta Maroko, melalui Perjanjian Abraham.
Leiter juga mengklaim bahwa kesepakatan yang ditandatangani pada 2020 dan 2021 tersebut memberikan dampak besar terhadap hubungan diplomatik di kawasan dan membawa Timur Tengah menuju era baru.
"Normalisasi bukan sekadar kesepakatan perdagangan atau hubungan diplomatik semata, tetapi juga membentuk landasan baru bagi stabilitas kawasan, menekan ekstremisme, serta mendorong kerja sama regional," jelas Leiter.
Dalam kesempatan yang sama, ia juga mendorong Yordania dan Mesir agar bersedia menerima pengungsi dari Gaza, sesuai dengan gagasan yang pernah disampaikan Trump. Menurutnya, langkah tersebut dapat membantu menyelesaikan krisis kemanusiaan dan politik yang terjadi saat ini.
"Sudah menjadi hal wajar bagi negara-negara tetangga untuk menampung pengungsi dari wilayah konflik. Ini adalah praktik yang terjadi di berbagai belahan dunia. Stabilitas kawasan bergantung pada tanggung jawab bersama," ungkapnya.
Namun, Arab Saudi tetap teguh pada pendiriannya dan berkali-kali menolak normalisasi hubungan dengan Israel, terutama setelah pecahnya perang di Gaza pada 7 Oktober 2023. Pejabat Saudi menegaskan bahwa hubungan diplomatik hanya akan terjalin apabila masalah Palestina dapat diselesaikan dengan memberikan kemerdekaan penuh kepada rakyatnya.
Terkait pengungsi Gaza, Yordania dan Mesir juga telah menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima pemindahan warga Gaza ke wilayah mereka. Kedua negara menilai bahwa rekonstruksi Gaza seharusnya tidak dijadikan alasan untuk mengusir penduduknya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Warga Gaza sendiri menolak keras rencana Trump tersebut dan lebih memilih untuk kembali ke tanah mereka, meskipun dalam kondisi hancur, dibandingkan harus diusir ke negara lain.
Banyak pihak meyakini bahwa rencana pemindahan tersebut bertujuan untuk mengosongkan Gaza dari penduduk Palestina agar wilayah itu dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Israel.(des*)