Prabowo Pangkas APBN 2025, Hemat Rp306,69 Triliun -->

Iklan Atas

Prabowo Pangkas APBN 2025, Hemat Rp306,69 Triliun

Jumat, 07 Februari 2025

Pengamat meminta Prabowo melakukan penghematan dengan menghapus sejumlah jabatan wakil menteri. 


Jakarta – Presiden Prabowo Subianto mengambil langkah drastis dalam kebijakan pengelolaan anggaran negara dengan melakukan penghematan besar-besaran terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Total penghematan yang dilakukan mencapai Rp306,69 triliun.


Untuk merealisasikan kebijakan ini, Prabowo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tahun anggaran 2025.


Langkah ini diambil guna mendukung berbagai program pemerintah yang membutuhkan anggaran besar, salah satunya program penyediaan makanan bergizi gratis. Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa kebijakan penghematan ini bertujuan agar anggaran lebih efisien dan dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.


"Pemerintah ingin memastikan penggunaan anggaran lebih efektif dan tepat sasaran, seperti pada program Makan Bergizi Gratis," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (24/1).


Selain untuk mendukung program-program prioritas, kebijakan penghematan juga diperlukan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang yang jatuh tempo pada 2025. Di tahun pertama kepemimpinan Prabowo, pemerintah harus melunasi utang sebesar Rp800,33 triliun, dengan bunga utang mencapai Rp552,9 triliun. Total kewajiban utang yang harus dibayar mencapai Rp1.353 triliun.


Pemangkasan Anggaran di Berbagai Sektor

Pasca dikeluarkannya Inpres ini, berbagai angka pemotongan belanja mulai bermunculan. Instruksi ini didukung dengan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 yang mengatur pemangkasan di 16 pos anggaran, kecuali belanja pegawai dan bantuan sosial. Setiap kementerian/lembaga (K/L) harus melakukan penyesuaian anggaran dan berkoordinasi dengan DPR RI sebelum melaporkan hasilnya kepada Kementerian Keuangan.


Namun, implementasi kebijakan ini menuai berbagai tanggapan, terutama dari sejumlah kementerian yang mengeluhkan pemotongan anggaran secara tiba-tiba. Salah satu contoh adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp81 triliun tanpa penjelasan yang jelas.


Tak hanya itu, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN). Muncul isu bahwa gaji ke-13 dan ke-14 bagi PNS akan dihapuskan tahun ini. Meski demikian, Sri Mulyani telah membantah kabar tersebut.


Ekonom Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, menilai bahwa beberapa kementerian dan lembaga mungkin merasa terpaksa memotong tunjangan pegawai karena keterbatasan opsi dalam menyesuaikan anggaran. Ia juga menyoroti potensi dominasi Kementerian Keuangan dalam menentukan kebijakan anggaran, yang berisiko mengganggu keseimbangan fungsi pemerintahan.


"Kebijakan ini bisa menjadi preseden buruk jika pemerintah secara sepihak mengatur anggaran tanpa melalui mekanisme legislatif di DPR RI," ujarnya.


Dampak ke Daerah dan Perekonomian Nasional

Selain memangkas belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun, penghematan juga mencakup pemotongan dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun. Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di tingkat daerah, mengingat porsi dana TKD dalam APBN terus menurun dalam satu dekade terakhir.


Peneliti Next Policy, Shofie Azzahrah, menilai bahwa kebijakan pemangkasan ini berpotensi berdampak luas, termasuk terhadap kesejahteraan pegawai negeri dan operasional kementerian. Ia menyoroti bahwa pemotongan anggaran yang tidak terencana dengan baik dapat melemahkan daya beli masyarakat, menghambat aktivitas bisnis, dan meningkatkan angka pengangguran.


"Jika pemangkasan dilakukan tanpa strategi matang, pertumbuhan ekonomi bisa terganggu, sektor ritel dan UMKM terpukul, serta industri manufaktur bisa mengalami perlambatan," ujarnya.


Selain itu, pemangkasan biaya perjalanan dinas juga dianggap berisiko terhadap sektor perhotelan, transportasi, dan restoran. Jika penghapusan perjalanan dinas dilakukan secara ekstrem, industri pariwisata dan MICE (Meeting, Incentives, Conventions, and Exhibitions) bisa mengalami penurunan signifikan, yang berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).


Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, mengusulkan agar penghematan APBN sebaiknya dimulai dari pengurangan struktur kabinet, seperti menghapus posisi wakil menteri yang dianggap tidak efisien. Ia juga menyarankan evaluasi terhadap tenaga ahli yang tidak memberikan kontribusi signifikan.


"Daripada memangkas anggaran yang berdampak luas ke masyarakat, lebih baik efisiensi dilakukan di sektor yang tidak produktif, seperti jabatan wakil menteri yang jumlahnya berlebihan," tegasnya.


Huda menilai bahwa jika kebijakan ini diterapkan secara serampangan, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa stagnan, bahkan sulit mencapai 5 persen. Ia menekankan pentingnya selektivitas dalam pemangkasan anggaran agar tidak mengorbankan pelayanan publik dan sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.


"Jika kebijakan efisiensi anggaran tidak dilakukan dengan bijak, masyarakat yang akan merasakan dampak negatifnya," pungkasnya. (des*)