PT GAG Nikel dan Kawei Sejahtera Mining Tersorot, Raja Ampat Terancam Rusak -->

Iklan Muba

PT GAG Nikel dan Kawei Sejahtera Mining Tersorot, Raja Ampat Terancam Rusak

Kamis, 05 Juni 2025
Profil Perusahaan Tambang di Raja Ampat. 


Raja Ampat, Papua Barat Daya – Aktivitas pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat tengah menjadi perhatian publik karena dikhawatirkan berdampak buruk terhadap kelestarian lingkungan di kawasan yang dikenal sebagai surga laut dunia. Dua perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah tersebut, yakni PT GAG Nikel dan PT Kawei Sejahtera Mining, turut menjadi sorotan.

Kedua entitas tersebut telah memperoleh izin operasional sejak sebelum wilayah Papua Barat Daya dimekarkan dari Provinsi Papua Barat.

Profil PT GAG Nikel
PT GAG Nikel adalah anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam), yang mengelola cadangan nikel di Pulau Gag, wilayah Papua Barat. Berdasarkan laporan resmi Antam per 31 Desember 2014 yang telah disertifikasi melalui standar JORC Code 2012, perusahaan ini memiliki sumber daya nikel yang cukup besar, dengan total saprolit mencapai sekitar 188,3 juta wet metric ton (wmt), serta limonit sebesar 170,4 juta wmt.

Profil PT Kawei Sejahtera Mining
PT Kawei Sejahtera Mining merupakan perusahaan tambang yang relatif baru, yang mulai beroperasi sejak Agustus 2023 dan berfokus pada penambangan bijih nikel di Kabupaten Raja Ampat.

Legalitas dan Polemik Perizinan Tambang
Kepala Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan, dan Pertanahan Papua Barat Daya, Julian Kelly Kambu, menyampaikan bahwa selain dua perusahaan tersebut, terdapat sejumlah entitas lain yang telah memiliki izin usaha pertambangan (IUP) sebelum terbentuknya provinsi baru ini.

Namun, kondisi ini memicu keluhan dari Bupati Raja Ampat, Orideko Burdam, yang menyatakan bahwa kewenangan dalam memberikan atau mencabut izin tambang berada di tangan pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah tidak memiliki cukup kuasa untuk mengatasi potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang.

“Sebagian besar wilayah Raja Ampat, sekitar 97 persen, merupakan kawasan konservasi. Ketika terjadi kerusakan lingkungan akibat pertambangan, kami di daerah tidak memiliki cukup wewenang untuk mengambil tindakan tegas,” ujar Burdam.

Pemerintah daerah pun berharap adanya evaluasi terhadap pembatasan kewenangan pengelolaan kawasan hutan, sehingga masyarakat lokal bisa lebih dilibatkan dalam upaya pelestarian lingkungan sekaligus meningkatkan kesejahteraan mereka.(BY)