![]() |
| (Alm) Indra Sakti Nauli bersama istri. (Dok. Keluarga) |
Padang, fajarsumbar.com – Di pagi yang mestinya tenang itu, suara azan Subuh baru saja berlalu ketika Indra Sakti Nauli, wartawan senior yang dikenal tegas dan rendah hati, merasakan sesuatu yang aneh di lehernya.
Ia memegang bagian yang terasa keras itu sambil berujar pelan kepada istrinya, “Ba a kok kareh lihia ko yo?”
Sang istri sempat mengira itu hanya pegal biasa.
Seperti kebiasaan mereka, ia mengambil minyak but-but — minyak kesayangan keluarga — untuk dioleskan. Tak ada yang mengira, minyak sederhana itu akan menjadi sentuhan terakhir sebelum petaka panjang dimulai.
Indra tetap berusaha menunaikan shalat Subuh. Namun usai berwudu, ia mulai merintih, menahan sakit di leher yang membengkak. “Bunda, capeklah, sakik lihia ko,” katanya dengan napas tersengal. Panik, sang istri memanggil tetangga bernama Ali, dan mereka bergegas menuju rumah sakit terdekat, RS H**m*na.
Di ruang IGD, dokter jaga memeriksa sekilas dan menyebut ada pembengkakan di kelenjar leher. “Bapak perlu dioperasi, Bu. Silakan daftar rawat inap,” ujar dokter itu.
Namun ketika sang istri mendaftar, jawaban yang datang membuat hati runtuh, kamar penuh. “Kalau mau cepat, Ibu bisa cari rumah sakit lain,” kata petugas dengan wajah datar.
Mereka pun berpindah ke RS Y** S**so, berharap penanganan yang lebih cepat. Tapi di sana, jawabannya tak jauh beda. “Dokter THT praktek sore, Bu. Kalau darurat, sebaiknya ke RS M.D**il saja,” saran petugas.
Dalam kebingungan, sang istri menggenggam tangan suaminya yang mulai lemas. Harapan mulai retak, tapi ia belum menyerah.
Sampai di RSUP M. D***mil, rumah sakit rujukan terbesar di Sumatera Barat, sang istri kembali percaya bahwa pertolongan akan datang. Namun kenyataan berkata lain.
Ruang IGD dipenuhi para dokter muda koas yang datang silih berganti, mengajukan pertanyaan yang sama, memotret wajah suaminya, mencatat hasil pemeriksaan—tanpa tindakan apa pun.
Setengah jam berlalu. Nafas suaminya semakin berat. Saat sang istri bertanya tentang langkah selanjutnya, seorang di antara mereka menjawab enteng, “Bapak dirujuk ke poli THT saja, Bu.”
Dengan hati remuk, ia membawa suaminya ke lantai tiga menggunakan kursi roda. Namun di bagian pendaftaran, ia kembali terbentur dinding birokrasi.
“Mana surat rujukan dari faskes, Bu?” tanya petugas.
“Saya dari IGD, disuruh ke sini,” jawabnya pelan.
“Kalau tak ada rujukan, tak bisa daftar.”
Ia hampir tak percaya. Di depan matanya, suaminya yang sedang sekarat harus menunggu hanya karena selembar kertas. Ia sempat menawar untuk mendaftar secara umum. Biayanya Rp210 ribu, belum termasuk obat dan tindakan. Tapi suaminya sudah terlalu lemah untuk bicara. “Ndak bisa ayah kasih pendapat kini, do…” katanya lirih, dengan mata yang sudah sayu.
Dalam kepanikan dan keputusasaan, mereka pindah ke RS Ib** S**a. Namun di sana pun jawabannya serupa, harus ada rujukan dari faskes. Ia tak tega meninggalkan suaminya yang semakin lemah, tapi sistem memaksanya memilih — urus rujukan atau tidak ditangani.
Dengan air mata, ia pergi ke faskes. Dokter di sana kebingungan tak ada masalah di gigi, tak ada di THT, tapi tetap harus menulis surat rujukan agar “berkas lengkap.”
Sore menjelang malam, mereka sempat pulang ke rumah. Indra Sakti berkata lirih. “Mangantuak bana mato ayah ko…” Istrinya menyangka ia hanya ingin beristirahat. Ia tak tahu, itulah istirahat terakhir.
Malamnya, dengan sisa tenaga, mereka menuju RSUD. Di sini, barulah tindakan cepat dilakukan. Dokter langsung memeriksa, mengambil darah, merontgen leher dan jantung, memasang infus serta oksigen.
“Pembuluh darah leher bapak pecah, Bu. Harus operasi,” kata dokter tegas.
Harapan sempat kembali menyala. Operasi dijadwalkan pukul 18.00, lalu diundur keesokan paginya untuk tindakan endoskopi. Namun takdir lebih cepat dari jadwal manusia.
Menjelang malam, Indra tiba-tiba sesak.
Ia memegang dada dan bahu, memberi isyarat kesakitan. Sang istri mengusap dada suaminya dengan tangan gemetar. Angka saturasi di monitor terus turun — dari 90 ke 80, lalu 50, hingga akhirnya 14.
Dokter menatap sang istri dengan wajah kehilangan. “Kami sudah berusaha, Bu… tapi Allah berkehendak lain.”
Hening. Dunia seakan berhenti berputar. Di pangkuan istri yang setia menemaninya sejak Subuh, Indra Sakti Nauli menghembuskan napas terakhir.
“Ya Allah… begitu cepat Engkau ambil dia tanpa pesan,” tulis sang istri dalam unggahan yang kini viral di media sosial.
Kisah itu mengguncang publik. Seorang wartawan senior, yang sepanjang hidupnya menulis tentang nasib rakyat kecil, justru berpulang setelah dipermainkan oleh sistem kesehatan yang seharusnya melindungi rakyat.
Apakah memang sebegitu bobroknya pelayanan rumah sakit kita?
Apakah nyawa harus menunggu tanda tangan, antrean, dan surat rujukan sebelum diselamatkan?
Pertanyaan itu menggema di hati banyak orang. Bukan hanya istri yang kehilangan, tapi juga masyarakat yang membaca kisah ini dengan dada sesak. Karena siapa pun bisa berada di posisi itu — di antara hidup dan mati, di hadapan meja pendaftaran yang dingin dan tanpa empati.
Kematian Indra Sakti Nauli bukan sekadar kehilangan seorang wartawan senior. Ia menjadi cermin kelam bagaimana sistem kesehatan sering kali tersesat dalam tumpukan prosedur dan ketidakpekaan.
Kita berutang perubahan pada setiap pasien yang pernah ditolak di depan ruang IGD, pada setiap keluarga yang kehilangan karena terlambat ditangani, dan pada setiap nyawa yang berpulang di antara aturan yang kaku.
Semoga dari kisah pilu ini, lahir kesadaran, bahwa nyawa manusia tidak boleh lagi tertahan oleh administrasi. Karena dalam ruang tunggu rumah sakit, waktu tak menunggu belas kasihan—dan tidak semua orang sekuat istri Indra Sakti Nauli yang setia mendampingi suaminya hingga napas terakhir.(Ab)
Komentar