Ketika Cahaya Mauluik Gadang Padang Pariaman Menyapa Warga Kekuatan Silaturahmi Terjaga Sarat Makna -->

Iklan Atas

Ketika Cahaya Mauluik Gadang Padang Pariaman Menyapa Warga Kekuatan Silaturahmi Terjaga Sarat Makna

Senin, 20 Oktober 2025
Tradisi "Makan Bajamba" penuh makna ketika Mauluik di Padang Pariaman (foto.dok.ikp) 



"Sebuah gebrakan tentang Padang Pariaman yang kembali menyalakan lentera tradisi di tengah zaman yang serba cepat"


Parik Malintang, - Pagi Sabtu 18 Oktober 2025, udara di kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman di Parit Malintang masih lembab oleh embun yang belum sempat pergi. Di halaman Masjid Raya, ribuan orang berdatangan tua, muda, perempuan, anak-anak. Kemudian, mereka menyatu dalam satu ruang waktu yang berbeda. Ruang yang penuh makna, waktu yang penuh ingatan.


Mereka datang bukan sekadar untuk menyaksikan upacara. Mereka datang untuk menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan ke mana nilai-nilai itu hendak dibawa di tengah modernitas yang kian menelan akar.


Di antara kerumunan, arak-arakan bungo lado, jamba, dan lamang berjalan perlahan. Warna-warni bunga dan daun pisang di dalam buluah berpadu dengan aroma wangi beras ketan yang baru masak.


Suara shalawat dulang dan sarafal anam menggema dari pengeras suara, memantul di dinding masjid, lalu lenyap di langit biru kawasan perkantoran Pemda Padang Pariaman di Parit Malintang. Ada haru yang tak terucap, ada kebanggaan yang diam-diam tumbuh di dada setiap orang yang hadir.


“Dulu, waktu kecil saya ikut emak bawa jamba ke surau,” tutur Nurhayati, 63 tahun, sambil mengusap peluh di keningnya. “Sekarang, saya bawa cucu. Biar dia tahu, kita punya tradisi.”


Puncak Mauluik Gadang Padang Pariaman 2025 itu bukan sekadar seremoni keagamaan. Ia adalah ruang pulang bagi ingatan yang nyaris terlupakan.


Di tengah gempuran dunia digital, masyarakat Padang Pariaman memilih untuk berhenti sejenak. Menengok masa lalu, menyentuh nilai-nilai yang sederhana. Kebersamaan silaturahmi, gotong royong, dan keikhlasan memberi.


Ketika makan bajamba dimulai, ratusan tangan saling berbagi suapan dari dulang besar yang sama. Tidak ada kursi, tidak ada protokol. Hanya alas tikar, nasi putih mengepul, gulai yang harum, dan tawa yang bersahutan. Di situ, hierarki melebur. Antara pejabat dan rakyat, tua dan muda, laki-laki dan perempuan.


Bupati John Kenedy Azis, duduk di antara warga, tanpa jarak. Ia tak sekadar hadir sebagai pemimpin, tapi juga sebagai bagian dari cerita yang ingin hidup kembali.


“Ini bukan pesta. Ini cara kita bersyukur dan mengenang kelahiran Nabi,” ujarnya perlahan. Tapi juga cara kita merawat warisan yang hampir hilang.


Tiga hari rangkaian Mauluik Gadang itu bukan hanya tentang acara. Tapi tentang getar sosial yang lama tak terasa. Ada badikia di malam hari, ada shalawat dan badikie syarafal anam. Ada ibu-ibu yang menjunjung Jamba diiringi "tambua gandang tasa". Ada anak-anak dan remaja serta bapak- bapak yang melangkah penuh makna di sela arak-arakan "Bungo Lado".


Semuanya berputar dalam satu irama yang sama. Irama kebersamaan. Di tengah masyarakat yang kian sibuk dengan urusan pribadi dan teknologi yang membelah ruang sosial.


Mauluik Gadang datang seperti jeda. Ia mengajarkan hal sederhana yang sering terlupa. Kegiatan religiusitas bukan hanya perkara ibadah. Tapi juga perkara menjaga hubungan sesama manusia.


“Kalau tak ada kebersamaan, tak akan ada Mauluik,” kata seorang tokoh masyarakat. “Bukan uang yang membuatnya hidup, tapi niat yang sama. Ingin menyambung silaturahmi sebagai kekuatan menjaga, karena, sarat makna". Begitulah kira-kira agaknya. 


Menjelang sore, ketika arak-arakan terakhir selesai dan warga mulai beranjak pulang, sisa aroma lamang masih tertinggal di udara. Di langit kawasan Kantor Bupati. Awan tipis menggantung, seolah ikut menjadi saksi kebangkitan nilai-nilai lama yang menolak mati.


Mauluik Gadang bukan sekadar tradisi. Ia adalah cermin dari jiwa masyarakat Padang Pariaman, yang tahu bagaimana memuliakan masa lalu tanpa takut menatap masa depan.


Dan ketika malam tiba, gema shalawat masih terdengar samar dari surau di ujung kampung. Seakan berkata pelan, “Selama kebersamaan masih dijaga, lentera Mauluik tak akan pernah padam.”- (Tan Saco).