Mauluik Gadang, Padang Pariaman Menyalakan Api Tradisi di Tengah Derasnya Zaman -->

Iklan Atas

Mauluik Gadang, Padang Pariaman Menyalakan Api Tradisi di Tengah Derasnya Zaman

Sabtu, 11 Oktober 2025
Heri Sugianto, Kabid IKP Diskominfo Padang Pariaman (foto.saco) 


Parik Malintang - Selama tiga hari penuh syair, lemang, dan doa. Masyarakat Padang Pariaman kembali meneguhkan jati diri lewat Mauluik Gadang, warisan dari Ulakan yang kini tumbuh abadi di hati generasi.


Di tengah derasnya arus modernisasi, ketika dunia digital menggerus ruang sosial dan budaya, Padang Pariaman memilih langkah yang berbeda. Mereka menoleh ke belakang, kembali pada akar, nilai, dan tradisi.


Melalui Mauluik Gadang, masyarakat tidak sekadar memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW, tetapi juga meneguhkan identitas budaya yang telah hidup ratusan tahun lamanya.


Pada 16–18 Oktober 2025 ini, Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman akan menggelar “Padang Pariaman Mauluik Gadang” di Masjid Raya Padang Pariaman, IKK Parik Malintang. Tiga hari yang sarat makna. Yakni zikir, shalawat, dan kebersamaan berpadu menjadi satu napas masyarakat Minangkabau.


Lebih dari Sekadar Perayaan


“Mauluik Gadang bukan hanya perayaan keagamaan, tetapi juga ajang mempererat silaturahmi dan melestarikan warisan budaya,” tutur Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis dalam pengarahannya dalam rapat Panitia.


Dalam perayaan ini, masyarakat disuguhi aneka tradisi lokal. Terutama Syarafal Anam, Badikie, Tabligh Akbar, Shalawat Dulang, hingga Malamang, Bungo Lado, Makan Bajamba, dan Badoncek.


Kesemuanya berpadu, bukan hanya menggetarkan sisi spiritual, tapi juga menggugah rasa kebersamaan. Napas yang telah lama menjadi denyut kehidupan orang Pariaman.


Jejak Panjang dari Ulakan


Tradisi Maulid di Padang Pariaman berakar dalam sejarah panjang sejak abad ke-16. Dari Syekh Burhanuddin Ulakan, sang ulama besar pembawa Islam ke pesisir barat Sumatera. Semangat Maulid tumbuh dan menjalar ke berbagai nagari.


Seperti di Ulakan, Tapakis, Nan Sabaris, Toboh, Pakandangan, Sicincin, Kayu Tanam, Sungai Sariak, Tandikek, Padang Sago, V Koto Kampung Dalam, Sungai Limau, Batang Gasan, Sungai Geringging hingga Aur Malintang.


Setiap nagari memiliki cara, warna, dan makna tersendiri. Di sanalah kekayaan budaya menemukan bentuknya beragam, tapi berpadu dalam satu niat yang sama adalah merawat warisan leluhur.


Pada 2023, tradisi ini resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Sebuah pengakuan atas ketekunan masyarakat menjaga akar budaya di tengah perubahan zaman.


Malamang: Filosofi dari Api dan Lemang


Ketika Mauluik tiba, aroma santan dan daun pisang menyeruak dari setiap sudut kampung. Malamang, tradisi memasak lemang, bukan sekadar kuliner, ia adalah ritual kebersamaan.


Bambu diisi beras ketan dan santan, lalu disangrai perlahan di atas bara api. Waktu yang panjang itu justru menghadirkan ruang untuk bercakap, bercanda, dan menautkan hati antar tetangga.


Lemang bukan hanya makanan, ia simbol gotong royong, kehangatan, dan kebersamaan. Tak heran, tradisi Malamang juga telah diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak 2021.


Bungo Lado: Bunga yang Menumbuhkan Kepedulian


Dalam keramaian Mauluik, satu tradisi selalu memikat pandangan yakni Bungo Lado. Meskipun namanya berarti “bunga cabai”, yang tampak adalah pohon hias berdaun uang kertas. Yakni sumbangan sukarela masyarakat yang disebut Badoncek.


Uang itu kelak digunakan untuk pembangunan masjid atau kegiatan sosial keagamaan. Bungo Lado menjadi bunga yang menumbuhkan kepedulian. Mengajarkan bahwa keindahan sejati lahir dari kebersamaan. Tradisi ini pun mendapat pengakuan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia tahun 2023.


Merawat Warisan, Menyatukan Generasi


Bagi masyarakat Padang Pariaman, Mauluik Gadang bukan hanya peringatan kelahiran Nabi, ia adalah cermin kehidupan. Tentang cinta, persaudaraan, dan penghormatan terhadap nilai lama yang tak lekang dimakan waktu.


“Dengan Mauluik Gadang, kita ingin memperkuat ukhuwah Islamiyah. Sekaligus menjaga warisan budaya agar tetap hidup di tengah arus modernisasi,” ujar Bupati John Kenedy Azis.


Dalam setiap syair shalawat, dalam bara yang mematangkan lemang, dan dalam uang kertas yang bergantung di Bungo Lado.


Agaknya, prosesi ini tersimpan pesan abadi. Adat dan agama bukan dua hal yang terpisah. Keduanya menyatu, mengakar, dan menumbuhkan harmoni dalam kehidupan orang Minang.


Mauluik Gadang 2025 bukan sekadar seremoni. Ia adalah ruang bertemu berdiskusi ringan, berbagi, dan merayakan identitas bersama. 


Di sanalah Padang Pariaman kembali menyalakan api tradisi, agar cahaya warisan tak pernah padam di hati generasi mendatang.(Penulis : Heri Sugianto, Kabid IKP Diskominfo Padang Pariaman).