![]() |
| Mahfud MD |
Jakarta, fajarsumbar.com - Pernyataan Mahfud MD kembali mengguncang wacana publik. Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) itu menyinggung persoalan serius di balik megahnya proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau yang kini dikenal dengan nama Whoosh. Proyek yang digadang sebagai simbol kemajuan transportasi Indonesia itu disebut meninggalkan beban utang luar biasa besar kepada negara.
Dalam sebuah podcast di kanal Forum Keadilan TV pada Kamis (30/10/2025), Mahfud menyingkap data yang mencengangkan: proyek KCJB menimbulkan utang hingga Rp116 triliun kepada pihak China, dengan tambahan bunga sekitar Rp2 triliun per tahun. Jumlah itu, menurutnya, menjadi catatan kelam di balik gemerlap pencapaian infrastruktur nasional.
“Proyek ini memang cepat, tapi meninggalkan beban yang tidak ringan bagi rakyat,” ujar Mahfud dengan nada prihatin. Ia menilai, keberhasilan membangun tak seharusnya dibayar dengan membebani masa depan generasi berikutnya melalui utang luar negeri yang kian menumpuk.
Lebih jauh, Mahfud menyoroti pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proyek strategis nasional. Ia mempertanyakan bagaimana skema pembiayaan, negosiasi, hingga pengawasan proyek yang digarap melalui kerja sama antara pemerintah Indonesia dan China itu berjalan.
“Publik berhak tahu bagaimana sebenarnya proses yang terjadi. Jangan sampai proyek sebesar ini menyisakan banyak tanda tanya,” tegasnya.
Mahfud juga menyinggung kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memanggil siapa pun yang dianggap mengetahui atau terlibat dalam proses proyek tersebut, termasuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri.
“Bisa saja KPK memanggil siapa pun, bahkan Presiden, selama itu dalam konteks penyelidikan dan untuk mencari keterangan. Secara hukum, itu dimungkinkan,” ucapnya.
Ia menegaskan, pemanggilan dalam tahap penyelidikan bukanlah bentuk penetapan tersangka. “Ini soal mencari keterangan dan mengumpulkan bukti awal. Kalau penyelidikan, berarti peristiwanya belum ditemukan alat bukti, tapi dugaan sudah ada,” jelasnya.
Mahfud mengakui bahwa dalam praktiknya, langkah semacam itu jarang dilakukan terhadap seorang kepala negara, namun bukan berarti mustahil. “Hukum tidak mengenal tabu. Semua yang tahu dan terlibat bisa dimintai keterangan,” katanya.
Dalam kesempatan itu, Mahfud juga mengulas kembali asal-usul proyek Whoosh. Ia mengingatkan bahwa rencana pembangunan kereta cepat ini pertama kali muncul pada tahun 2015, hanya enam bulan setelah Jokowi dilantik sebagai presiden. Awalnya, proyek ini merupakan hasil kajian kerja sama pemerintah Indonesia dengan Jepang dengan nilai sekitar 6,2 miliar dolar AS.
Namun, arah proyek berubah drastis ketika pemerintah memutuskan untuk beralih menggandeng China. Proyek yang semula dijanjikan tanpa jaminan pemerintah akhirnya tetap menimbulkan beban utang besar dan menuai kritik tajam dari berbagai pihak.
Kini, delapan tahun berlalu, kereta cepat memang telah beroperasi, tetapi bayang-bayang utang dan dugaan ketidakterbukaan informasi masih menghantui. Pernyataan Mahfud MD menjadi pengingat bahwa pembangunan besar seharusnya tidak hanya diukur dari kecepatan dan kebanggaan, tetapi juga dari kejujuran dan tanggung jawab terhadap rakyat yang ikut menanggung biayanya.
“Yang cepat boleh saja Whoosh, tapi jangan sampai rakyat yang ngos-ngosan membayar bunganya,” tutup Mahfud dengan sindiran tajam namun sarat makna.(Ar)
Komentar