Aturan Baru, Produsen Minyak Wajib Tawarkan ke Pertamina Terlebih Dahulu -->

Iklan Atas

Aturan Baru, Produsen Minyak Wajib Tawarkan ke Pertamina Terlebih Dahulu

Sabtu, 30 Maret 2024

Migas di Indonesia


Jakarta - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) terus berupaya meningkatkan komersialisasi minyak dan gas bumi, khususnya setelah adanya penemuan gas bumi besar-baru ini.


Hingga saat ini, produksi minyak dan gas bumi di Indonesia didahulukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ini tercermin dari kebijakan pemerintah yang mewajibkan produsen minyak untuk menawarkan hasil produksi mereka kepada Pertamina terlebih dahulu.


Rayendra Sidik, Kepala Divisi Komersialisasi Minyak dan Gas Bumi SKK Migas, mengungkapkan bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) 18/2021 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri, produsen diharuskan menawarkan minyak mereka kepada Pertamina atau badan usaha lokal sebelum mempertimbangkan ekspor.


"Minyak harus ditawarkan kepada Pertamina terlebih dahulu. Jika tidak memungkinkan karena berbagai alasan, seperti kesepakatan harga atau masalah teknis, misalnya kilang tidak mampu menerima minyak baru, baru kemudian dapat diekspor," ujar Rayendra dalam konferensi pers di Jakarta pada Kamis (28/3/2024).


Dia menjelaskan bahwa hanya ada dua jenis minyak yang boleh langsung diekspor, dan jumlahnya pun terbatas karena jenis minyak dengan kandungan sulfur tinggi tidak dapat diolah di kilang yang ada di Indonesia.


Tidak hanya minyak, sebagian besar produksi gas bumi juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Berdasarkan data dari SKK Migas, sekitar 23,35% dari total produksi gas bumi diekspor dalam bentuk LNG dan sekitar 8,7% diekspor melalui pipa, sedangkan sisanya digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.


Rayendra menyatakan bahwa untuk produksi LNG, sisa produksi yang belum dikontrak akan ditawarkan terlebih dahulu kepada konsumen dalam negeri seperti industri pupuk dan pembangkit listrik. Namun, jika tidak ada permintaan, gas tersebut akan dijual di pasar spot.


Dia juga menyebutkan bahwa komersialisasi gas bumi memiliki tantangan yang lebih besar dibandingkan dengan minyak bumi, terutama dalam hal penetrasi pasar dan infrastruktur.


"Gas bumi harus disalurkan segera setelah diproduksi. Sebelum produksi, pasar harus siap, dan diperlukan infrastruktur agar gas dapat disalurkan langsung ke konsumen," jelasnya.


Untuk mengatasi hal ini, pengembangan infrastruktur jaringan pipa gas menjadi kunci. Saat ini, beberapa jaringan pipa gas masih belum terhubung, seperti Cirebon-Semarang, Dumai-Sei Mangke, dan menuju Batam. Rayendra juga menyebutkan bahwa salah satu tantangan dalam komersialisasi gas bumi adalah pembangunan pabrik LNG.


"Ini karena sebagian besar temuan gas berada di wilayah timur Indonesia, sedangkan permintaan gas yang tinggi ada di wilayah barat Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pabrik LNG untuk memenuhi kebutuhan ini," lanjutnya.


Rayendra menekankan bahwa upaya untuk menciptakan pasar gas bumi domestik juga merupakan tantangan tersendiri. Meskipun pemanfaatan gas bumi untuk kebutuhan domestik telah meningkat dalam 10 tahun terakhir, namun peningkatan ini tidak signifikan.


Sementara itu, Hudi Suryodipuro, Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, menegaskan bahwa komersialisasi minyak dan gas bumi harus dilakukan secara transparan dan hati-hati. Sektor hulu migas memiliki peran penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan negara.


“Perlu disadari bahwa tidak semua orang memahami proses komersialisasi migas. Ada kesalahpahaman bahwa penemuan minyak atau gas otomatis menghasilkan keuntungan besar. Namun, ada proses dan prosedur yang harus diikuti sebelum penemuan tersebut dapat diproduksi dan dikomersialisasikan,” jelasnya.(BY)