Pemerintah Rencanakan Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan untuk Lumbung Pangan -->

Iklan Cawako Sawahlunto

Pemerintah Rencanakan Pembukaan 20 Juta Hektare Hutan untuk Lumbung Pangan

Senin, 13 Januari 2025

Potret seorang warga komunitas Orang Rimba di wilayah Terab, Kabupaten Batanghari, Jambi


Jakarta – Rencana pemerintah Indonesia untuk membuka lahan sebesar 20 juta hektare—setara dua kali luas Pulau Jawa—demi proyek lumbung pangan dan energi diperkirakan akan memperparah ketimpangan kepemilikan lahan antara masyarakat dan korporasi. BBC News Indonesia berbincang dengan seorang warga Suku Anak Dalam di Jambi, aktivis lingkungan, dan peneliti terkait isu ini.


Rencana pembukaan lahan seluas dua kali Pulau Jawa ini bahkan melampaui program perhutanan sosial era pemerintahan Joko Widodo yang sebelumnya dikritik karena hanya memberikan hak sementara kepada masyarakat, bukan kepemilikan penuh atas lahan. Gagasan ini pertama kali diutarakan oleh Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada 30 Desember. Menurut Raja Juli, konsep tersebut telah dibicarakan secara informal dengan Presiden Prabowo Subianto.


Di area seluas itu, pemerintah berencana menanam komoditas seperti padi gogo sebagai sumber pangan dan pohon aren untuk memproduksi bioetanol sebagai energi alternatif.


“Ini tidak hanya mencakup lumbung pangan besar, tetapi juga menciptakan lumbung pangan skala kecil di tingkat kabupaten, kecamatan, bahkan desa,” jelas Raja Juli. Aktivis lingkungan menilai pemerintah seharusnya mendukung masyarakat dalam mengelola hutan secara berkelanjutan, seperti yang dilakukan oleh komunitas Dayak Seberuang di Kalimantan Barat yang memanfaatkan arus sungai untuk energi listrik secara mandiri. Sebaliknya, membiarkan masyarakat tanpa hak atas hutan berpotensi mengulang masalah seperti yang dialami komunitas Orang Rimba di Taman Nasional Bukit Duabelas, yang kini mulai menanam kelapa sawit demi bertahan hidup. Selain itu, riset terbaru menunjukkan bahwa rencana deforestasi ini dapat mengancam keberlangsungan bahasa dan budaya masyarakat adat.


Pengendum Tampung, pria 35 tahun dari Suku Anak Dalam di Jambi, hidup di kawasan hutan yang pada tahun 2000 ditetapkan sebagai Taman Nasional Bukit Duabelas. Tradisi masyarakatnya yang berburu dan meramu memaksa mereka hidup nomaden, berpindah-pindah lokasi, terutama saat ada anggota komunitas yang meninggal dunia—tradisi ini disebut "melangun" dalam bahasa setempat. Namun, ekspansi perkebunan kelapa sawit di sekitar taman nasional sejak era Orde Baru membatasi ruang gerak mereka.


“Ruang hidup kami ada yang menjadi hutan kelahiran, hutan berburu, dan tempat untuk melangun,” ungkap Pengendum pada Selasa (07/01). “Kini, area tersebut banyak yang berubah menjadi lokasi transmigrasi dan perkebunan kelapa sawit,” tambahnya.


Pengendum termasuk salah satu anggota Orang Rimba yang mendapatkan pendidikan formal, meski hal ini sempat ditentang keluarganya. Di usia 11 tahun, ia bergabung dengan Sokola Rimba, sebuah inisiatif pendidikan alternatif yang didirikan oleh antropolog Butet Manurung. Meskipun tidak melanjutkan pendidikan tinggi, Pengendum sempat belajar di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan kini aktif membahas isu hutan, hukum, dan adat.


Menurut Pengendum, konflik antara Orang Rimba, perusahaan, dan warga transmigran sering terjadi karena izin pemanfaatan lahan kerap diberikan tanpa memperhitungkan keberadaan masyarakat adat di dalamnya. Pohon-pohon di kawasan yang menjadi ruang hidup mereka kini masuk ke area kebun warga, dan setiap upaya mengambil hasil pohon tersebut dapat dianggap sebagai tindak pencurian.


“Sekitar tahun 2000-an, ada seorang warga kami yang memetik buah petai di lahan milik masyarakat transmigran. Ia ditembak saat masih di atas pohon, jatuh, dan meninggal,” tutup Pengendum.(des*)