![]() |
Aktivitas di kantor Redaksi fajarsumbar.com |
Jakarta, fajarsumbar.com – Satu per satu ruang redaksi di berbagai stasiun televisi dan kantor berita mendadak sunyi. Bukan karena habis deadline atau akhir siaran, tapi karena banyak kursi mendadak kosong—ditinggal mereka yang terpaksa angkat kaki. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kini menghantam industri media Indonesia dengan keras, dan dampaknya tak bisa lagi disembunyikan di balik angka statistik.
Kompas TV melepas 150 karyawan, CNN Indonesia 200, tvOne 75, Republika 60 termasuk puluhan jurnalis. MNC Group mem-PHK lebih dari 400 orang dan memangkas jumlah pemimpin redaksi secara drastis. Di meja-meja redaksi yang tersisa, bayang-bayang kecemasan terus menghantui para pekerja media yang masih bertahan.
Di balik data itu, ada wajah-wajah manusia. Wartawan yang selama bertahun-tahun memburu berita dari jalanan, produser yang menyusun rundown dalam malam-malam panjang, kamerawan yang menembus bencana demi gambar terbaik. Kini mereka duduk di rumah, menggenggam surat keputusan PHK sambil bertanya: ke mana arah industri ini sebenarnya?
Krisis ini tidak datang tiba-tiba. Sudah lama penyiaran Indonesia menghadapi tekanan. Tapi seperti gempa yang mendahului tsunami, sinyalnya sering diabaikan. Perubahan perilaku masyarakat dalam mengonsumsi informasi sudah terjadi bertahun-tahun. Televisi kini kalah bersaing dengan layar smartphone, dan program berita tergeser oleh konten pendek yang viral.
Saat anak-anak muda lebih memilih menonton video lucu di TikTok ketimbang menyimak berita pukul tujuh malam, saat keluarga tidak lagi berkumpul di depan televisi tapi asyik dengan gadget masing-masing—di situlah industri ini mulai kehilangan pijakan.
Menurut laporan DataReportal, pada awal 2025 jumlah pengguna internet aktif di Indonesia mencapai lebih dari 212 juta jiwa. Hampir semua dari mereka menghabiskan waktunya di media sosial, YouTube, dan layanan streaming. Iklan pun mengikuti arah mata penonton—berpindah ke platform digital, meninggalkan media konvensional yang terengah-engah.
Namun, akar persoalan bukan hanya soal teknologi. Regulasi pun berjalan tertatih. Undang-Undang Penyiaran yang saat ini berlaku disusun lebih dari dua dekade lalu—pada masa ketika BlackBerry baru muncul dan YouTube belum lahir. Saat ini, UU tersebut nyaris tidak relevan lagi untuk menjawab tantangan zaman.
Platform digital tidak terikat kewajiban siaran lokal, tidak mengenal sensor ketat, tidak memerlukan izin panjang seperti televisi. Ketimpangan ini membuat media penyiaran tersudut dalam arena yang tidak adil. Ketua KPI Pusat bahkan sudah menyuarakan urgensi revisi regulasi agar negara bisa hadir dan mengatur semua pemain media secara setara.
Namun di tengah perubahan besar itu, sebagian media masih terpaku pada masa lalu. Mereka enggan berubah, lambat beradaptasi, dan terus mengandalkan model bisnis berbasis rating serta slot iklan yang kian menyusut. Alih-alih berinovasi, banyak yang memilih PHK sebagai solusi tercepat, seolah mengorbankan jurnalis adalah jalan keluar.
Padahal di luar sana, ada banyak contoh sukses transformasi media. BBC di Inggris misalnya, berani beralih ke model digital-first. NHK di Jepang membangun multiplatform yang kuat. Netflix, bahkan sejak awal, menolak bergantung pada iklan. Mereka membangun basis pelanggan yang loyal melalui konten yang relevan dan eksklusif.
Industri media Indonesia bisa meniru langkah-langkah ini. Model hybrid yang menggabungkan pendapatan dari iklan digital, langganan premium, kerja sama konten, dan pemanfaatan data pengguna bisa menjadi solusi jangka panjang. Tapi semua itu hanya akan berhasil jika ada kemauan untuk berubah secara menyeluruh—bukan tambal sulam.
Transformasi yang dibutuhkan tidak hanya di level perusahaan, tapi juga di dalam SDM-nya. Pekerja media harus dibekali dengan keterampilan baru: storytelling multiplatform, penguasaan SEO, analisis data, manajemen media sosial, hingga pemahaman soal monetisasi konten.
Kampus-kampus komunikasi dan jurnalistik juga harus berbenah. Kurikulum lama yang terlalu fokus pada teori media massa tak lagi cukup. Pendidikan harus menyentuh ranah teknologi digital, strategi bisnis media, hingga kewirausahaan konten. Mahasiswa komunikasi masa depan harus siap menghadapi medan yang terus berubah, bukan sekadar hafal teori agenda setting.
Dan di atas segalanya, Indonesia punya satu kekuatan yang tak dimiliki oleh platform global: kedekatan dengan masyarakat. Media lokal memahami kultur, bahasa, dan dinamika sosial yang tidak bisa ditiru algoritma asing. Ini modal penting untuk membangun konten yang tidak hanya relevan, tapi juga membentuk karakter bangsa.
Gelombang PHK yang melanda saat ini seharusnya bukan dianggap sebagai akhir dari segalanya, tapi sebagai tanda peringatan. Jika tidak ada langkah besar untuk bertransformasi, maka ruang penyiaran kita akan kian sempit, dan publik kehilangan akses terhadap informasi yang terpercaya.
Sudah saatnya revolusi penyiaran Indonesia dimulai—melalui kebijakan baru, kolaborasi lintas sektor, dan semangat baru dalam membangun ekosistem media yang sehat. Ini bukan hanya soal menyelamatkan pekerjaan, tapi menyelamatkan fungsi media sebagai tiang demokrasi.(*)