Jakarta – Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung jawab terhadap tingginya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi pada tahun 2025. Puan mengingatkan bahwa pemerintah harus menemukan solusi jangka panjang terhadap lonjakan PHK yang terjadi di tengah ketidakpastian situasi global saat ini. "PHK bukanlah titik akhir, melainkan langkah awal menuju fase baru ekonomi yang lebih maju dan bermartabat. Hal ini hanya dapat tercapai jika negara turut hadir dan tidak lepas tangan," ujar Puan dalam pernyataannya pada Senin (6/5/2025).
Penciptaan lapangan pekerjaan baru menjadi solusi utama untuk mengatasi krisis PHK yang sedang berlangsung, sambil memastikan perlindungan bagi para pekerja yang terdampak. Puan mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret, termasuk program bantuan bagi pekerja formal yang beralih ke sektor informal setelah kehilangan pekerjaan.
"Jangan biarkan para pekerja yang di-PHK berjuang sendirian. Negara harus hadir untuk mendampingi mereka dalam proses transisi dari sektor formal ke informal, serta membantu mereka beralih dari pekerja upahan menjadi pelaku usaha dan penyedia jasa dengan pendekatan yang nyata dan terukur," kata Puan. Ia juga menyoroti bahwa fenomena PHK yang terjadi saat ini disebabkan oleh sistem ketenagakerjaan yang belum mampu mengimbangi perubahan struktur ekonomi dan digitalisasi.
Untuk itu, Puan menekankan pentingnya pendampingan bagi para pekerja yang terdampak PHK. Banyak di antara mereka yang beralih menjadi wirausaha kecil atau berusaha mengembangkan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). "Jumlah lapangan pekerjaan yang terbatas, sementara angkatan kerja terus berkembang, memaksa pekerja beralih ke sektor informal. Negara harus hadir untuk mendampingi rakyat yang tengah berjuang bertahan hidup, termasuk mereka yang di-PHK," lanjut Puan.
PHK Meningkat
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat, pada periode Januari hingga April 2025, total pekerja yang terdampak PHK mencapai 24.036 orang. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, di mana 77.965 pekerja di-PHK sepanjang 2024. "Saat ini sudah terdata sekitar 24.000 orang, yang berarti lebih dari sepertiga jumlah PHK sepanjang tahun 2024. Jika membandingkan angka PHK tahun ini dengan tahun lalu, memang ada peningkatan," jelas Yassierli dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025).
PHK terbanyak terjadi di tiga provinsi, yaitu 10.692 pekerja di Jawa Tengah, 4.649 di Jakarta, dan 3.546 di Riau. Yassierli juga menjelaskan bahwa ada 25 faktor penyebab PHK, dengan tujuh di antaranya menjadi yang paling dominan. Penyebab utama termasuk kerugian perusahaan atau penutupan akibat penurunan permintaan, relokasi pabrik untuk mengurangi biaya upah, dan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja. Selain itu, PHK juga terjadi karena perusahaan melakukan efisiensi untuk bertahan hidup, transformasi bisnis, dan kebangkrutan akibat kewajiban kepada kreditur.
**Pembentukan Satgas PHK**
Pada peringatan Hari Buruh Internasional (1/5/2025), Presiden Prabowo mengumumkan rencana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) PHK. Pembentukan Satgas PHK ini merupakan respons atas permintaan dari para pimpinan serikat buruh, termasuk Presiden Partai Buruh Said Iqbal dan Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Jumhur Hidayat.
"Kami tidak akan membiarkan rakyat dan pekerja di-PHK begitu saja," tegas Prabowo di Lapangan Monas, Jakarta, pada Kamis (1/5/2025). Presiden juga menambahkan bahwa negara akan mengambil tindakan tegas untuk melindungi hak-hak pekerja. "Jika diperlukan, kami tidak akan ragu untuk turun tangan, demi melindungi hak-hak para pekerja," lanjut Prabowo, yang disambut sorakan dari para buruh.(des*)