Transformasi Batu Bara, Dari Ekspor Mentah ke Produk Bernilai Tinggi -->

Iklan Muba

Transformasi Batu Bara, Dari Ekspor Mentah ke Produk Bernilai Tinggi

Senin, 12 Mei 2025
Hilirisasi Batu Bara. 


Jakarta – Pengolahan batu bara di dalam negeri atau hilirisasi dinilai sebagai strategi penting dalam memperkuat kemandirian energi nasional dan mendorong pertumbuhan industri domestik. Indonesia saat ini masih tercatat sebagai salah satu pengekspor batu bara terbesar di dunia.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa dari total penjualan batu bara sebesar 811,01 juta ton, sekitar 433,17 juta ton dikirim ke luar negeri.

"Selama ini kita terlalu mengandalkan ekspor bahan mentah. Padahal, batu bara memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan menjadi produk bernilai tambah," ungkap Dewi Yustisiana, anggota Komisi XII DPR RI, dalam pernyataannya di Jakarta pada Minggu (11/5/2025).

Fokus Hilirisasi Batu Bara
Salah satu program prioritas hilirisasi adalah mengubah batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME), yang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti LPG impor. Proyek ini sedang dijalankan oleh PT Bukit Asam di kawasan Tanjung Enim.

Selain DME, batu bara juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar industri petrokimia seperti metanol dan pupuk urea. PTBA bersama PGN juga tengah mengembangkan Substitute Natural Gas (SNG), sebuah inovasi untuk mengubah batu bara menjadi gas sintetis yang dapat dipakai sebagai bahan bakar alternatif seperti diesel dan bensin sintetis. Inisiatif ini masih dalam tahap awal dan masuk ke dalam rencana jangka panjang hilirisasi nasional.

Perluasan Produk Turunan Batu Bara
Dewi juga menekankan pentingnya memperluas jenis produk hilirisasi, seperti pembuatan briket, karbon aktif, hingga grafit sintetis. Produk-produk tersebut memiliki nilai tambah tinggi dan berpotensi mendukung pertumbuhan sektor strategis, seperti industri baterai kendaraan listrik.

Untuk mempercepat hilirisasi, Kementerian ESDM terus merancang berbagai kebijakan pendukung. Di antaranya, penyediaan insentif fiskal seperti pembebasan pajak, kemudahan dalam pengurusan izin usaha, serta skema off-taker guna menjamin kepastian pasar bagi produk hilir.

“Transformasi ini bukan sekadar agenda ekonomi, tetapi bagian dari upaya menciptakan sistem ekonomi yang mandiri dan kuat,” ujar Dewi.

Hambatan dan Kolaborasi
Meski menjanjikan, proses hilirisasi tidak lepas dari tantangan. Beberapa kendala utama mencakup kebutuhan investasi yang besar, ketergantungan pada teknologi luar negeri, dan fluktuasi harga produk hilir yang kerap membuat pelaku industri ragu untuk berinvestasi.

Dewi menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah, badan usaha milik negara (BUMN), dan sektor swasta agar program hilirisasi ini dapat berjalan berkelanjutan dan memberikan dampak nyata bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.(BY)