Hilangnya Memori Kolektif dan Krisis Identitas dalam The Memory Police Karya Yoko Ogawa: Tinjauan Psikoanalisis Freud -->

Iklan Muba

Hilangnya Memori Kolektif dan Krisis Identitas dalam The Memory Police Karya Yoko Ogawa: Tinjauan Psikoanalisis Freud

Senin, 30 Juni 2025


Penulis: Fakhirah Saffa Kamila
(Mahasiswi Kelas A Sastra Jepang, Universitas Andalas)



Abstrak

Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa menghadirkan dunia distopia di mana benda, makhluk hidup, hingga konsep abstrak menghilang secara sistematis dari realitas bersama dan ingatan kolektif masyarakat. Proses pelupaan ini bukan sekadar tindakan politik, melainkan cerminan mekanisme represi psikis yang bekerja pada tingkat individu dan sosial. 


Melalui teori psikoanalisis Sigmund Freud, esai ini menelaah hilangnya memori dalam novel sebagai simbol represi trauma, dominasi superego represif, serta ancaman alienasi total terhadap identitas manusia. Analisis ini menegaskan bagaimana bahasa, kesadaran, dan relasi antarmanusia perlahan terkikis ketika represi menjadi rutinitas dalam masyarakat otoriter.


Yoko Ogawa dikenal sebagai penulis Jepang kontemporer yang piawai memadukan tema psikologis, absurditas sunyi, dan alegori sosial. The Memory Police, yang terbit pertama kali pada 1994 dalam bahasa Jepang dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada 2019, bercerita tentang sebuah pulau tak bernama yang kerap mengalami “kehilangan” benda, mulai dari burung, bunga, parfum, hingga konsep abstrak seperti kalender dan foto. Setiap kali kehilangan terjadi, semua warga diwajibkan menyerahkan benda terkait untuk dimusnahkan, lalu secara perlahan mereka melupakannya seakan-akan tak pernah ada. Proses ini diawasi lembaga represif bernama Polisi Memori.


Meskipun tampak fantastis, kisah ini mengangkat kecemasan kolektif, trauma sejarah, dan cara manusia mengelola kehilangan. Dalam masyarakat yang hidup di bawah tekanan konstan, represi menjadi strategi bertahan sekaligus sumber keterasingan mendalam.


Freud berpendapat bahwa represi bukan hanya penghindaran, melainkan penguburan pengalaman traumatis ke dalam ketidaksadaran. Namun, yang ditekan tidak pernah sepenuhnya hilang; ia dapat muncul kembali dalam simbol, gejala, atau dorongan yang mengganggu. Perspektif psikoanalisis Freud membuka kemungkinan membaca novel ini sebagai peta konflik batin antara hasrat mempertahankan ingatan dan ketakutan akan kekuasaan yang mengendalikan kesadaran.


Dalam kerangka Freud, represi (repression) merupakan salah satu mekanisme pertahanan ego paling mendasar. Ia mendefinisikan represi sebagai proses mental untuk mengusir pikiran, kenangan, atau dorongan yang dianggap tidak dapat diterima atau mengancam stabilitas psikis, sehingga dimasukkan ke ketidaksadaran. Dalam “Repression” (1915), Freud menulis: “Represi adalah proses yang mempertahankan sesuatu dalam ketidaksadaran.”


Namun, represi tidak meniadakan isi pikiran yang ditekan. Freud menekankan bahwa apa yang direpresi tetap aktif di alam bawah sadar dan dapat muncul kembali dalam bentuk tersamar, seperti gejala neurotik, mimpi, atau simbol lain. Dalam The Ego and the Id (1923), ia menyatakan: “Apa yang ditekan terus eksis dalam ketidaksadaran dan bisa kembali dalam wujud yang menyamar.”


Dengan demikian, represi bukanlah pelupaan netral, melainkan penangguhan kesadaran yang mengandung ketegangan laten. Ketika masyarakat dalam The Memory Police “melupakan” benda-benda secara massal, sesungguhnya mereka menyingkirkan pengalaman traumatis—kehilangan makna dan kepastian eksistensial—ke dalam ketidaksadaran kolektif. Proses ini menciptakan kondisi yang tampak damai di permukaan, namun menyimpan kecemasan mendalam.


Represi sebagai mekanisme kolektif menjadi ritual yang terlembaga. Ketika burung lenyap, semua orang hanya membuka sangkar tanpa bertanya ke mana mereka pergi: “Burung telah menghilang. Tak ada yang bertanya mengapa atau ke mana perginya. Kami hanya membuka sangkar dan membiarkan mereka terbang.” (Ogawa, 2019:9)


Penggambaran ini menunjukkan bahwa represi bukan lagi tindakan individu, melainkan kesepakatan sosial. Masyarakat memilih melupakan demi mempertahankan “kedamaian” semu. Fenomena serupa dapat kita lihat dalam praktik penghapusan sejarah yang memalukan atau traumatis oleh negara atau kelompok tertentu.


Freud menekankan bahwa trauma yang ditekan tidak benar-benar hilang, melainkan terus memengaruhi perilaku. Dalam novel, ketakutan pada Polisi Memori menjadi energi laten yang membuat masyarakat patuh.


Polisi Memori: Superego yang Represif

Freud membagi kepribadian menjadi id, ego, dan superego. Id adalah pusat naluri primitif, ego sebagai mediator dengan realitas, dan superego mewakili norma serta larangan sosial. Dalam The Memory Police, Polisi Memori adalah manifestasi eksternal superego represif yang mengawasi dan menghukum. Mereka tidak hanya merampas benda yang hilang, tetapi juga menanamkan rasa takut:


“Mereka datang di malam hari. Mereka mengambil barang-barang yang telah hilang, dan siapa pun yang menyembunyikannya akan dibawa pergi.” (Ogawa, 2019:27)


Superego dalam novel ini bekerja dengan menumbuhkan rasa bersalah pada siapa pun yang masih memiliki ingatan. Akibatnya, represi bukan hanya pertahanan diri, melainkan kepatuhan yang diinternalisasi. Individu merasa berdosa hanya karena mengingat.


Freud menulis bahwa superego terbentuk dari otoritas—orang tua, agama, atau institusi kekuasaan. Ketika superego menjadi dominan, kebebasan psikis individu terhimpit oleh larangan internal.


Karakter R: Ego yang Menolak Dilumpuhkan

Di tengah kepatuhan massal, hadir karakter R, editor yang tetap mengingat benda-benda yang hilang. R melambangkan ego yang mempertahankan realitas objektif dan identitas diri. Ia menjadi ancaman bagi tatanan kolektif yang bertumpu pada pelupaan. Narator memutuskan menyembunyikan R di rumahnya, sebuah bentuk perlawanan simbolik:


“Aku merasa aku harus melindunginya, karena ingatannya adalah satu-satunya yang mengikatku pada dunia yang pernah ada.” (Ogawa, 2019:65)


Menurut Freud, ego terjepit antara tuntutan id, realitas, dan tekanan superego. Keputusan narator menyembunyikan R adalah upaya menjaga integritas psikis di tengah tekanan totalitarian.


Bahasa dan Kehampaan Identitas

Freud berpendapat bahwa ketidaksadaran sering muncul melalui simbol: mimpi, fantasi, atau slip of the tongue. Dalam novel, bahasa menjadi arena penghilangan. Ketika benda lenyap, kata-kata yang merujuknya pun menguap. Lama-kelamaan, masyarakat kehilangan kosakata dan kemampuan bernarasi:


“Kata-kata itu menghilang seperti salju yang mencair. Tidak ada lagi cerita.” (Ogawa, 2019:132)


Ini menegaskan bahwa represi tidak hanya menghapus memori, tetapi juga merusak jembatan kesadaran-ketidaksadaran. Ketika bahasa hilang, manusia kehilangan kemampuan memahami diri. Hilangnya kata berarti hilangnya kemampuan berpikir kritis atau memberontak. Dalam psikoanalisis, bahasa adalah alat ego menafsirkan pengalaman, termasuk trauma; ketika bahasa lumpuh, identitas pun tercerabut.


Alienasi Kolektif sebagai Konsekuensi Represi

Konsekuensi akhir represi total adalah alienasi mendalam. Warga pulau tak hanya kehilangan benda, tetapi juga kemampuan merasa kehilangan. Ketika narator mencoba mengenang, ia mendapati kehampaan:


“Aku mencoba mengingat bentuknya, rasanya, suaranya. Tapi semuanya lenyap, seperti pasir yang lolos di antara jari-jari.” (Ogawa, 2019:84)


Freud meyakini trauma yang ditekan terus menghantui. Dalam novel, ini terwujud dalam suasana sunyi dan hilangnya makna. Ketidaksadaran kolektif membuat masyarakat kehilangan masa lalu dan masa depan karena tak ada ingatan yang diwariskan.


Konteks Sosial Budaya dan Relevansi Universal

Meskipun berakar dalam konteks Jepang pascaperang—trauma Hiroshima, sensor budaya, dan modernisasi yang mengikis nilai lama—tema yang diangkat bersifat universal. Negara totalitarian mana pun berpotensi menghapus sejarah. Represi kolektif dalam novel merefleksikan fenomena “pelupaan nasional” di berbagai rezim otoriter, di mana narasi resmi dibangun untuk menindas kebenaran alternatif.


Psikoanalisis Freud mengungkap bahwa penghapusan memori bukan hanya tindakan politis, tetapi juga psikis. Negara otoriter memanipulasi superego kolektif, menumbuhkan rasa takut dan bersalah, sehingga rakyat memilih melupakan daripada menghadapi konflik batin.


The Memory Police adalah alegori puitis tentang rapuhnya struktur psikis manusia di bawah represi sistematis. Hilangnya benda-benda menjadi simbol trauma yang tak dihadapi secara sadar; Polisi Memori mewakili superego represif, sedangkan R adalah ego yang berusaha menjaga memori.


Novel ini memperlihatkan bahwa represi kolektif, meski semula tampak sebagai mekanisme perlindungan, pada akhirnya melahirkan alienasi total. Ketika memori dan bahasa lenyap, manusia kehilangan kemampuan memahami siapa diri mereka. Dalam masyarakat yang ditekan, tidak ada ruang untuk nostalgia, keraguan, atau pemberontakan—hanya kehampaan yang sunyi.


Melalui kisah ini, Ogawa mengingatkan bahwa pertarungan mempertahankan memori bukan hanya persoalan politik, melainkan eksistensial: tanpa ingatan, manusia kehilangan identitas, dan tanpa identitas, tak ada kemanusiaan. (*)