![]() |
Hidayatul Rahmat |
Payakumbuh, fajarsumbar.com – Ada yang berubah di Payakumbuh, Sumatera Barat (Sumbar). Kota kecil berpenduduk 141 ribu jiwa ini kini tak lagi sekadar dikenal karena kulinernya atau keramahan penduduknya. Dalam dua tahun terakhir, geliat berbeda terasa menyelinap di antara hiruk-pikuk kota: rumah-rumah biliar menjamur bak cendawan di musim hujan.
Dulu, biliar di Payakumbuh ibarat kata asing. Hingga 2010, hanya satu rumah biliar yang berdiri. Bahkan ketika Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) Sumatera Barat digelar pada 2018, hanya empat atlet biliar yang berhasil dihimpun—itu pun dengan perjuangan yang luar biasa oleh Pengurus Cabang (Pengcab) POBSI Payakumbuh.
Kini, situasinya berbalik drastis. “Per hari ini, ada 13 rumah biliar beroperasi aktif. Dan dalam waktu dekat, lima lagi akan dibuka,” ungkap Ketua POBSI Kota Payakumbuh, Hidayatul Rahmat, Rabu malam (11/6).
Apa yang terjadi? Bagaimana sebuah kota mungil seluas 80 km² ini bisa menjadi magnet baru olahraga biliar?
Jawabannya ada pada perubahan zaman. Budaya urban dari kota-kota besar kini merembes ke Payakumbuh. Globalisasi tak bisa dicegah. Biliar, yang dulunya dianggap kegiatan pinggiran, kini tampil elegan, sebagai hiburan, rekreasi, sekaligus olahraga resmi yang diakui dunia.
Permainan ini, yang namanya berasal dari bahasa Prancis—bille berarti bola, billiard berarti tongkat—sudah eksis sejak abad ke-15. Dahulu, biliar dimainkan di padang rumput sebagai turunan dari kriket. Kini, ia hadir di ruangan ber-AC, lengkap dengan meja hijau, bola, dan stik dalam atmosfer kompetitif dan modern.
Namun, kehadiran rumah biliar di Payakumbuh bukan semata karena tren. Ada strategi dan pendampingan serius dari POBSI. “Kami dampingi setiap investor sejak tahap awal. Kami tidak ingin investasi gagal, dan kami juga pastikan lingkungan menerima kehadirannya,” kata Hidayatul Rahmat, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Dinas Perhubungan sekaligus Plh Kadis Perhubungan Payakumbuh.
Investasi membangun satu rumah biliar tidak murah. Satu set meja berkisar antara Rp 40–50 juta. Umumnya, satu rumah memiliki 10 hingga 13 meja. Ruangannya harus dibangun permanen dengan fasilitas pencahayaan khusus, sistem pendingin, serta tenaga kerja profesional. Satu shif butuh minimal 10 petugas lapangan, belum termasuk barista, kasir, chef, petugas kebersihan, hingga keamanan.
Rata-rata rumah biliar di kota ini juga dilengkapi kafe. Pengunjung bisa bermain sambil menyeruput kopi, atau sekadar nongkrong menyaksikan aksi sodokan bola dari balik meja VIP berdinding kaca transparan.
Estimasi biaya pendirian satu rumah biliar? Minimal satu miliar rupiah. Itu belum termasuk biaya operasional bulanan. Namun POBSI Payakumbuh memastikan: biliar hari ini bukanlah biliar masa lalu.
“Stigma negatif seperti judi dan miras harus dilenyapkan. Kami mewajibkan semua rumah biliar menuliskan ‘Biliar Tanpa Judi’ di atas meja, tidak boleh menyediakan kartu remi, dan VIP room-nya harus transparan agar keluarga merasa aman,” jelas Hidayatul Rahmat.
Dan memang, saat ini, keluarga sudah menjadi pengunjung tetap rumah biliar. Tak hanya remaja, tapi juga para tokoh masyarakat, ASN, pengusaha muda, hingga anggota DPRD pun mulai menjadikan biliar sebagai pilihan rekreasi dan olahraga.
Menariknya, seluruh rumah biliar di Payakumbuh sepakat menjaga harga dan etika bisnis. Tarif bermain ditetapkan sama: Rp 35 ribu per jam untuk ruang umum dan Rp 50 ribu untuk VIP. Diskon hanya boleh berlaku maksimal seminggu dan harus diinformasikan ke POBSI serta rumah biliar lainnya.
Komitmen Payakumbuh dalam membina atlet juga tak main-main. POBSI mewajibkan setiap rumah biliar melahirkan atlet. Tiap tiga bulan digelar kejuaraan bergilir, di mana setiap rumah biliar wajib mengirimkan minimal dua pasang pemain.
Bahkan dalam persiapan menjadi tuan rumah Porwaprov (Pekan Olahraga Wartawan Provinsi) PWI Sumbar pada 20-22 Juni 2025 mendatang, rumah biliar Payakumbuh memberi fasilitas latihan gratis bagi atlet-atlet dari PWI Payakumbuh-Limapuluh Kota. Mereka cukup menunjukkan "surat sakti" dari POBSI. “Kami betul-betul dibantu luar biasa oleh POBSI dan seluruh rumah biliar. Atlet kami makin semangat,” ujar Aspon Dede, Ketua PWI Payakumbuh-Limapuluh Kota.
Ketua SIWO PWI Sumbar Syaiful Husein bahkan menyebut, pendekatan POBSI Payakumbuh sangat mendasar: tidak sekadar mencari atlet, tapi membangun ekosistemnya. Sementara Ketua PWI Sumbar, Widya Navies, menilai rumah biliar bukan hanya memajukan olahraga, tapi juga menggerakkan roda ekonomi lokal.
Dan inilah Payakumbuh hari ini. Kota yang tak hanya menjual pesona kuliner dan budaya, tapi juga menjadikan biliar sebagai simbol semangat baru—semangat membangun, berkompetisi, dan menjadi besar lewat olahraga yang dulu dianggap minoritas. Siapa sangka, dari balik meja hijau biliar, mimpi besar Payakumbuh mulai digulirkan. (Firdaus Abie)