Musim Kemarau Capai Puncak, Sejumlah Wilayah Sumbar Alami Kekeringan Panjang -->

Iklan Atas

Musim Kemarau Capai Puncak, Sejumlah Wilayah Sumbar Alami Kekeringan Panjang

Minggu, 27 Juli 2025
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) 


Padang Pariaman – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi Kelas II Minangkabau menyatakan bahwa fenomena hari tanpa hujan yang berlangsung hingga 60 hari di sejumlah wilayah Sumatera Barat (Sumbar) masih tergolong dalam kategori wajar.

“Ini merupakan puncak musim kemarau, sehingga wajar jika terjadi penurunan curah hujan secara signifikan, bahkan sampai 60 hari tanpa hujan,” ujar Kepala BMKG Stasiun Minangkabau, Desindra Deddy Kurniawan, dalam keterangannya di Padang Pariaman, Jumat (25/7).

Berdasarkan analisis cuaca yang dilakukan BMKG, musim kemarau di wilayah Sumbar umumnya telah berlangsung sejak Mei dan diperkirakan akan bertahan hingga September. Puncak musim kering sendiri diprediksi terjadi pada bulan Juli 2025.

Desindra menjelaskan, kondisi minim curah hujan tersebut disebabkan oleh karakteristik iklim ekuatorial yang membagi Sumbar menjadi dua tipe: tipe satu dan tipe dua. Tipe satu merupakan wilayah yang tidak mengalami musim kemarau, sedangkan tipe dua mengalami musim kering yang jelas—umumnya mencakup kawasan tengah dan barat Sumbar seperti Kabupaten Solok, Limapuluh Kota, Sijunjung, dan Dharmasraya.

“Secara geografis, Sumbar berada di wilayah ekuator sehingga memiliki pola cuaca dan iklim yang khas dan berbeda dari daerah lainnya,” tambahnya.

Akibat kondisi ini, beberapa wilayah mengalami hari tanpa hujan yang cukup panjang, bahkan mendekati kategori ekstrem, seperti yang terjadi di Kabupaten Solok yang mencatat lebih dari 60 hari tanpa hujan.

Namun, tidak semua daerah di Sumbar terdampak serupa. Beberapa wilayah masih mengalami hujan secara berkala, seperti Kota Padang, yang justru masih menerima curah hujan relatif stabil.

Desindra mengungkapkan bahwa daerah-daerah yang telah mengalami kekeringan lebih dari 60 hari berpotensi mengalami kemunculan titik panas (hotspot), yang bisa menjadi indikator awal kebakaran hutan atau lahan. Oleh karena itu, wilayah-wilayah tersebut menjadi prioritas dalam pelaksanaan operasi modifikasi cuaca.

“Melalui teknologi modifikasi cuaca, kami berharap dapat menstimulasi turunnya hujan, meskipun hanya dengan intensitas ringan. Setidaknya, ini bisa membantu membasahi lahan dan mengurangi potensi timbulnya hotspot,” jelasnya.(des*)