![]() |
| Potret masyarakat mengunjungi IKN. |
Jakarta – Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menepis tudingan media asing The Guardian yang menyebut Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai kota hantu. Ia menilai label tersebut tidak berdasar dan perlu dijawab dengan pembuktian nyata melalui kinerja serta transparansi dari Otorita IKN (OIKN).
Menurut Khozin, istilah kota hantu memiliki makna negatif yang menggambarkan masa depan suram. Karena itu, OIKN diminta menunjukkan hasil konkret agar publik dan dunia internasional memahami perkembangan sebenarnya dari pembangunan IKN.
“Istilah ‘kota hantu’ itu bernada merendahkan. OIKN harus menjawabnya dengan percepatan kinerja dan pelaporan rutin kepada masyarakat,” ujar Khozin, Minggu (2/11/2025).
Ia menilai pemberitaan The Guardian yang menggambarkan IKN sebagai proyek gagal bisa berdampak buruk terhadap citra Indonesia di mata investor global. Oleh sebab itu, Khozin menekankan pentingnya memperkuat strategi komunikasi publik, sehingga informasi yang beredar di dalam dan luar negeri bisa lebih berimbang dan objektif.
“Pembangunan IKN membutuhkan dukungan investor asing. Karena itu, citra positif harus dipertahankan, tentunya dengan memperlihatkan kondisi nyata di lapangan dan memperbaiki pola komunikasi publik,” jelasnya.
Khozin menambahkan, secara politik, proyek pemindahan ibu kota sudah memperoleh legitimasi yang kuat melalui undang-undang dan dukungan anggaran dari pemerintah serta DPR.
“Secara politik, masa depan IKN tidak perlu diperdebatkan lagi. Regulasi sudah jelas mengatur, dan IKN adalah simbol masa depan, bukan kota hantu,” tegasnya.
Meski begitu, ia menilai kritik dari media asing bisa menjadi bahan introspeksi bagi OIKN, khususnya dalam aspek manajemen komunikasi publik yang selama ini dianggap belum optimal.
“Evaluasi tetap penting, terutama terkait pengelolaan komunikasi agar publik mendapat informasi yang akurat dan tidak menimbulkan persepsi keliru,” tambah Khozin.
Sebelumnya, The Guardian menulis laporan yang menyebut proyek IKN berisiko menjadi ghost city karena pembangunan dinilai melambat dan investasi yang masuk menurun. Media itu juga menyoroti keterbatasan dana pemerintah serta jumlah tenaga kerja yang belum mencapai target pembangunan hingga 2030.(BY)
Komentar