Sepenggal Kisah Pulang: Silungkang Menyambut Anak yang Berhasil -->

Iklan Atas

Sepenggal Kisah Pulang: Silungkang Menyambut Anak yang Berhasil

Senin, 03 November 2025
Prof. Drs. Azhar Kasim MPA., Ph.D bersama keluarga berkunjung ke rumah keluarga di Silungkang. Terlihat Abu Hanifah (bertopi putih bertuliskan RJ) turut mendampingi dalam momen penuh kehangatan tersebut. (foto/istimewa)


Oleh: Anton Saputra (Wartawan Madya Sertifikasi Dewan Pers)


PADA penghujung Oktober 2025 yang teduh, suasana Silungkang seolah menyimpan denyut yang berbeda. Di halaman sebuah rumah gadang, orang-orang berkumpul dengan raut wajah berseri. Mereka tak sekadar menunggu, tetapi menyambut kepulangan salah satu putra terbaik kampung: Prof. Drs. Azhar Kasim, MPA., Ph.D.


Tokoh akademisi nasional yang namanya mengisi ruang-ruang perkuliahan ilmu administrasi publik di Indonesia itu kembali menginjak tanah kelahirannya. Ia datang tidak dalam seremoni megah, tidak dengan protokol resmi, melainkan dengan kesederhanaan yang hangat—bersama istri, anak, dan menantunya. Tetapi dalam kesederhanaan itulah tersimpan makna yang dalam: pulang adalah perkara hati.


Akar yang Menghidupkan

Prof. Azhar adalah putra dari (alm.) Muhammad Kasim Sutan Pangeran dan (almh.) Hajah Tinur binti Hajah Salam. Ia adalah anak Lokuang Atas Suku Dalimo, Babako ka Panai Tigo Tingkah—nilai adat yang sejak kecil menuntunnya memahami hormat, kesantunan, dan tanggung jawab.


Ia lahir di Silungkang pada 21 Desember 1943. Masa kecil dan remajanya ditempa di sekolah-sekolah kampung: SD, kemudian SMP/SDI Silungkang dan SMP Negeri Sawahlunto. Pada tahun 1960, di usia 17 tahun, ia berangkat merantau ke Solo untuk melanjutkan pendidikan SMA. Dari kota itu, nasib membawanya ke Jakarta, ke Universitas Indonesia, lalu jauh menyeberang ke Amerika Serikat.


Di State University of New York at Albany, ia meraih gelar Master of Public Administration (1984) dan kemudian Doktor Administrasi Publik (1987). Lima tahun ia menimba ilmu di negeri seberang, lalu kembali untuk mengabdi.


Jejak Kecendekiaan yang Panjang dan Rendah Hati

Kembali ke tanah air, Prof. Azhar mengajar di Universitas Indonesia, menjadi salah satu penggerak penting dalam pengembangan ilmu administrasi publik di Indonesia. Ia mendirikan Program D-3 FISIP UI, mengajar di PTIK dan STIA LAN Jakarta, memimpin Departemen Ilmu Administrasi UI selama enam tahun, dan dipercaya menjadi Koordinator Program Doktor Ilmu Administrasi.


Ia kemudian memimpin Sekolah Kebijakan Publik dan Pemerintahan (SGPP) Indonesia di Jakarta, mengembangkan kurikulum, dan membina generasi pemikir kebijakan publik dari berbagai daerah Indonesia.


Pemikiran dan tulisannya menjadi rujukan akademisi, birokrat, dan pembuat kebijakan. Ia terlibat dalam forum-forum ilmiah internasional, konferensi administrasi publik tingkat Asia, hingga kerja kolaboratif reformasi birokrasi bersama lembaga pemerintah dan organisasi global.


Namun di tengah pencapaian itu, ia tetap memiliki cara memandang kehidupan yang sederhana.


“Saya berasal dari Silungkang. Dari kampung kecil inilah fondasi hidup saya bermula,” ujarnya suatu ketika.


Di Mata Kampung, Ia Tetap “Urang Awak”

Abu Hanifah bin Abdul Muluk, pendiri Yayasan Penyantun Anak Yatim dan Fakir Miskin (Yafamsil), menyebut kehadiran Prof. Azhar bukan semata kebanggaan, tetapi teladan karakter:


“Beliau adalah sosok yang tinggi ilmu dan luas pengalaman, tapi tidak pernah lupa pulang. Itu yang membuatnya besar.”


Pulang kali ini bukan untuk agenda formal. Tidak ada seminar, tidak ada forum diskusi. Yang ada hanya obrolan hangat di serambi rumah, udara lembah yang sejuk, suara ayam pulang petang, dan senyum sanak saudara yang menyimpan rindu bertahun-tahun.


Di usia 82 tahun, ia memilih sesuatu yang paling sederhana, dan mungkin paling mewah: silaturahmi.


Pulang, untuk Mengingat Siapa Kita

Pada sore yang pelan di Silungkang itu, seakan ada pesan yang ingin ia titipkan kepada generasi muda kampung:


Bahwa setinggi apa pun ilmu yang engkau kejar, sejauh apa pun langkahmu menapak, jangan pernah lupa tempat di mana engkau bermula. Sebab kampung bukan sekadar asal, tetapi akar yang menjaga agar kita tetap berdiri, bahkan ketika badai hidup mencoba meruntuhkan.


Dan pada hari itu, Silungkang menyambutnya bukan sebagai Guru Besar, bukan sebagai intelektual bangsa, bukan pula sebagai pemikir kebijakan publik level Asia.


Tetapi sebagai anak kampung yang berhasil, tanpa pernah meninggalkan kampungnya.


Sebab ilmu yang berbuah, selalu tahu jalan untuk pulang. (*_*)