Warga memasang portal untuk membatasi akses keluar masuk permukiman. (CNN Indonesia/Damar Sinuko) |
Jakarta - Wacana penerapan kebijakan lockdown regional menguat di tengah penerapan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro. Wacana ini menguat seiring dengan lonjakan kasus penularan Covid-19 yang terjadi saat ini.
Ialah Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra yang pertama kali mendorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan lockdown regional.
Menurutnya, pemerintah harus mengambil langkah yang radikal dalam menyikapi lonjakan kasus Covid-19 dan lockdown regional merupakan pilihan yang paling radikal, sebagaimana dikutip cnnindonesia.com
"Pemerintah harus radikal. Opsinya ada dua, mau PSBB seperti semula, atau lockdown regional terbatas pada pulau besar. Opsi paling radikal tentunya lockdown regional, radikal, tapi paling logis," kata Hermawan dalam Konferensi Pers 'Desakan Emergency Responses: Prioritas Keselamatan Rakyat di Tengah Pandemi' dalam YouTube, Minggu (20/6).
Hermawan menyebut lockdown regional merupakan opsi yang bisa membantu Indonesia keluar dari situasi lonjakan pandemi Covid-19. Ia menegaskan lockdown dapat memutus mobilitas orang dengan ketat.
Lockdown juga jadi opsi yang disarankan karena berkaca pada negara-negara yang sukses mengatasi pandemi Covid-19. Beberapa di antaranya seperti Australia, Jerman, Belanda, dan beberapa negara lainnya di Eropa.
"Cara itu yang paling riil. Kalau tidak ya ekonomi terus terpuruk," ujarnya.
Sejumlah pihak dan epidemiolog ikut merespons dan menilai lockdown regional bisa diterapkan secara efektif dengan cara penutupan wilayah tertentu dan diberlakukan pada periode tertentu saja.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman memberikan setidaknya dua catatan soal lockdown ini. Pertama, pemerintah diminta untuk mulai mengkaji opsi karantina wilayah atau kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di area tertentu.
"Di pulau Jawa ini, hal itu harus disiapkan, PSBB atau karantina wilayah. Dalam hal ini pemerintah pusat dan provinsi melakukan skenario dan persiapan pilihan dari opsi itu," kata dia.
Menurut Dicky, opsi lockdown itu merupakan salah satu pilihan tepat karena ia memprediksi penyebaran Corona akan kian pesat hingga empat minggu ke depan. Selain itu, opsi ini juga untuk mengurangi beban fasilitas kesehatan.
Dia menyatakan pemerintah tidak perlu melakukan lockdown atau PSBB ke seluruh provinsi Indonesia.
"Kalau yang bermasalah se-Jawa, harus se-Jawa, atau setidaknya mayoritas daerah di Jawa, plus Bali dan Madura," imbuh Dicky.
Catatan kedua, lockdown juga perlu dilakukan minimal selama satu kali masa inkubasi virus atau sekitar satu bulan.
Senada, Ketua Satgas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Zubairi Djoerban menyarankan pemerintah berani mencoba menerapkan kebijakan lockdown selama dua pekan.
"Saran saya. Lebih bijaksana bagi Indonesia untuk terapkan lockdown selama dua minggu," kata Zubairi melalui cuitan di akun twitter pribadinya @ProfesorZubairi yang telah dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (21/6).
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo meminta pemerintah mempertimbangkan opsi lockdown regional. Ia menilai, kebijakan lockdown regional per pulau merupakan opsi paling riil yang bisa memutus rantai penularan Covid-19.
"Meminta pemerintah segera mengambil tindakan atau kebijakan dengan mempertimbangkan opsi lockdown regional di tengah situasi pandemi Covid-19 yang terus mengalami lonjakan," ucap pemilik sapaan akrab Bamsoet itu.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo merespons lonjakan kasus Covid-19 di wilayahnya dengan meminta jajaran kepala daerah untuk tegas menutup tempat yang bisa memicu kerumunan.
Menurutnya, para kepala daerah juga bisa menerapkan lockdown mikro jika ditemukan satu kasus Covid-19 di wilayah tersebut.
"Ada satu kasus, lockdown mikro satu area itu. Harus punya konsensus, satu keputusan politik yang sama. Pengetatan harus dilakukan, mikro zonasinya kita pelototin," ujar Ganjar.
Usulan lockdown sendiri kurang mendapatkan respons positif dari Satgas Covid-19. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ganip Warsito menjawab desakan untuk mengambil kebijakan lockdown dengan mengklaim bahwa pemerintah sudah mencoba konsep lockdown sejak awal pandemi Covid-19 tahun lalu.
"Sebenarnya konsep lockdown atau karantina wilayah, ataupun PPKM mikro ini semua sudah pernah kita coba mulai dari pertama pandemi," kata Ganip dalam rapat koordinasi Satgas Covid-19 yang disiarkan melalui kanal YouTube Pusdalops BNPB, Senin (21/6).
Ganip mengatakan penerapan PSBB dengan pembatasan di beberapa sektor rasanya berat dilakukan saat ini.
"Kalau kita melakukan PSBB dampak sosial-ekonominya termasuk keamanan ini juga implikasinya terlalu besar," ujarnya.
Sementara itu, sebanyak tiga provinsi tak sanggup menerapkan lockdown. Anggaran yang terbatas membuat mereka berpikir ulang untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X yang sebelumnya menyerukan lockdown untuk mencegah penyebaran Covid di wilayahnya, kini berpikir ulang untuk menerapkan.
Menurut Sultan, lockdown merupakan opsi terakhir dalam menangani lonjakan Covid.
"Itu (lockdown) pilihan terakhir," kata Sultan.
"Saya (Pemda DIY) enggak kuat ngragati (membiayai) rakyat se-DIY," imbuhnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengungkapkan hal serupa. Emil, sapaan akrabnya, mengatakan, jika pemerintah pusat menetapkan lockdown, maka pihaknya akan mengikuti ketentuan itu.
Namun, Emil mengaku tak sependapat dengan usulan lockdown. Pasalnya, sejak awal telah disepakati tidak ada lagi istilah lockdown.
Untuk itu, menurut dia, jika lockdown atau PSBB kembali diterapkan, maka pemerintah harus siap untuk memenuhi kebutuhan pangan warganya. Sementara, di sisi lain, Emil menyebut jika Jawa Barat sudah tak memiliki anggaran untuk itu.
"Kami dari Jawa Barat anggaran memang sudah tidak ada. Kalaupun itu (lockdown) diadakan, kepastian logistik dari pusat harus sudah siap baru kami akan terapkan di Jawa Barat," kata Emil.
Di Jakarta, usulan lockdown juga sempat mendapat penolakan. Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Zita Anjani mengatakan bahwa PSBB ketat bukan pilihan bijak dalam kondisi saat ini.
Belajar dari pengalaman setahun terakhir, Pemerintah Provinsi DKI telah banyak mengalokasikan anggaran selama beberapa kali menerapkan PSBB.
Ia khawatir, PSBB ketat akan kembali menguras pendapatan, sehingga Pemprov tak dapat membiayai kesehatan.
Situasi itu justru akan lebih fatal, sebab pemerintah tak memiliki pendapatan dari sektor pajak. Menurut Zita, aspek kesehatan dan ekonomi lebih baik berjalan bersamaan. (*)