Warga Libanon Bak Hidup di Neraka akibat Krisis Ekonomi -->

Iklan Atas

Warga Libanon Bak Hidup di Neraka akibat Krisis Ekonomi

Sabtu, 10 Juli 2021


Warga Libanon mengaku bak hidup di neraka karena krisis yang disebut Perdana Menteri Hassan Diab menyebabkan negara mereka mendekati 'ledakan sosial.' (Reuters/Stringer)

Jakarta - Warga Libanon mengaku bak hidup di neraka karena krisis yang disebut Perdana Menteri Hassan Diab menyebabkan negara mereka mendekati "ledakan sosial.


" Di hadapan para diplomat dan duta besar negara asing pada awal pekan ini, Diab bahkan tak segan meminta bala bantuan demi menarik negaranya keluar dari pusaran krisis.


"Libanon tinggal beberapa hari lagi dari ledakan sosial. Orang Libanon menghadapi nasib kelam ini sendirian," kata Diab. Krisis ekonomi bermula sejak akhir 2019, yang berakar akibat praktik korupsi dan salah urus pemerintah pasca-perang sipil, sebagaimana dikutip cnnindonesia.com.


Situasi diperparah dengan usaha minim pemerintah memberdayakan perekonomian lokal dan senang mengandalkan impor di hampir seluruh sektor. 


Krisis ekonomi Libanon yang telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir ini pun membuat 6 juta warga Libanon hidup di tengah kelangkaan dan kekurangan berbagai bahan pokok, mulai dari makanan, obat-obatan, bahan bakar, hingga suku cadang kendaraan. 


Warga Libanon juga hidup tanpa pemerintah tetap sejak kabinet pemerintahan PM Hassan Diab mengundurkan diri beberapa hari setelah ledakan besar mengguncang pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020. 


Ibrahim Arab, seorang warga Libanon, menjadi salah satu di antara ribuan orang yang rela mengantre berjam-jam setiap hari untuk mengisi bahan bakar kendaraan.


Ibrahim kerap menghabiskan 2-3 jam mengantre di bawah terik matahari demi bahan bakar agar mobil taksinya bisa beroperasi dan membantunya mencari nafkah. 


Ketika libur, Arab luntang-lantung dengan taksinya mendatangi setiap apotek di Beirut untuk mencari susu formula di tengah kelangkaan barang demi anak laki-lakinya yang baru berusia 7 bulan. 


Arab tak lagi bisa memilih. Ia terpaksa membawa pulang susu formula merek apa pun yang bisa ia dapat meski anaknya kerap muntah dan diare karena meminum susu dari label berbeda. 


"Hidup saya sudah susah dan sekarang krisis bahan bakar hanya membuat kondisi semakin buruk," kata Arab kepada Associated Press. Selain menjadi supir taksi, Arab juga bekerja sebagai penjaga salah satu pasar swalayan di ibu kota. Meski telah menjalani dua pekerjaan, gaji Arab tak cukup membeli kebutuhan dasar dengan harga selangit akibat mata uang Libanon yang kehilangan daya belinya hingga 95 persen.


 Kelangkaan energi listrik juga terjadi akibat sebagian masyarakat tak mampu membayar tagihan. Selama ini, Libanon juga mengandalkan pembangkit listrik atau generator milik perusahaan swasta. 


Sejak krisis memburuk, pembangkit listrik terpaksa dimatikan beberapa jam demi menghemat bahan bakar. Keterpurukan juga diperparah dengan pandemi virus corona. 


Akibat kelangkaan listrik, sebagian rumah sakit di penjuru Libanon harus mematikan pendingin ruangan sejak beberapa hari terakhir demi menghemat pengeluaran. Kelangkaan listrik juga menjadikan saluran komunikasi termasuk internet di berbagai kota mati. 


"Kami benar-benar berada di neraka," kata Direktur Jenderal Rumah Sakit Universitas Rafik Hariri, Firas Abiad. (*)