Oleh : Alfian Tarmizi, M.Pd |
Pernahkah pembaca terjebak dalam situasi kemacetan akibat pengguna jalan tidak tertib dan tidak disiplin ... ? Pada jalur jalan raya buka tutup misalnya, terlihat mobil dan motor berdesakan ingin saling mendahului. Sehingga membuat pengatur lalu lintas kewalahan dan geleng-geleng kepala.
Mungkin lagi, kita pernah mengalami saat terjebak dalam desakan kerumunan ratusan manusia. Mereka berjuang agar segera melewati pintu keluar di sebuah Aula yang besar, sebagai contoh. Aksi saling sikut dan saling dorong, ditengah udara panas dari hawa manusia. Kesemua saling berjibaku untuk meloloskan badan dari pintu utama. Hal ini sangat melelahkan dan menguras energi.
Pemandangan dari ilustrasi diatas, sungguh sangat mengganggu nalar waras kita. So, timbul beragam pertanyaan mengemuka. Bagaimana logika berpikir mereka ... ? salahsatu diantaranya tanda tanya itu. Sehingga membuat mereka seperti dalam kerumunan pesakitan yang berusaha keluar menyelamatkan diri dari hukuman sel yang sempit ...?
Penulis ingin berbagi cerita dengan pembaca tentang pengalaman mengikuti “Field Trip” salah satu TK di Kota X. Terlihat 2 (dua) orang guru TK yang sudah tidak muda lagi. Begitu sabar dengan telaten menertibkan siswanya untuk antrian dalam menaiki mobil Bus.
Anak-anak tidak ada terlihat, aksi saling serobot dan saling dorong. Ketika mereka mau turun mobilpun, juga sama. Mereka dengan patuhnya mengikuti instruksi dari guru yang menyambut mereka di bawah. “Hati-hati, ya…satu-satu…jangan dorong…yang rapi…biar selamat…”, begitu kata gurunya di ujung tangga mobil sana.
Berlaku tertib, memang mudah untuk diucapkan. Tetapi, agak sulit untuk diterapkan. Aksi heroik, egois dan exited dari dorongan emosi yang meluap-luap. Justru, memacu adrenalin seseorang untuk bersemangat dan berusaha menjadi yang pertama. Ia terkadang mengacaukan situasi saat antri demikian.
Telah begitu banyak kisah naas orang-orang yang tidak sabaran dalam berkendaraan. Terlibat aksi saling potong lalu lintas yang menimbulkan kecelakaan. Bahkan, emosi yang tidak terkendali itu, mengakibatkan tindakan anarkis dalam sebuah antrian atau iring-iringan.
Budaya antri erat kaitannya dengan kesabaran dan toleransi. Ada sikap saling menghargai, dan saling menghormati antar satu sama lainnya. Orang yang datang lebih awal, lebih berhak untuk antrian di depan, ketimbang orang yang datang belakangan.
Begitupun dengan orang yang datang terlambat, harus menghormati orang di depannya. Berusaha sabar untuk menunggu giliran. Itupun, satu detik saja,sangat berarti bagi orang yang disiplin dengan waktu.
Ada proses negosiasi antara hati dan logika dalam mengantri. Emosi dan kesabaran dipertanyakan ketika menunggu antrian. Disinilah, peran menetralisir hati, pun keadaan membuat kita, bisa mentolerir kesalahan kecil yang diperbuat. Apalagi, ketika datang terlambat mau mengambil antrian. Hikmahnya, kita tidak akan pernah terlambat lagi, sehingga harus belajar menghargai waktu.
Penulis teringat dengan ungkapan pesan seorang guru dari negara Australia yang cukup viral di media sosial. Guru itu berkata: “Saya tidak terlalu khawatir dengan siswa yang tidak cakap matematika, tapi saya sangat khawatir, bila ada siswa saya tidak bisa antri dengan tertib”.
Bila ditelusuri lebih dalam, mengantri adalah sikap dari cerminan karakter yang menerapkan nilai kepatuhan, kedisiplinan, kesabaran, toleransi dan integritas yang tinggi. Hal itu, merupakan suatu kebiasaan yang diproses melalui latihan yang memakan waktu tahunan.
Pembiasaan sikap demikian, bila dilakukan secara berulang-ulang, sehingga permanen di dalam memori. Ketika bersalaman harus antri sebagai contoh. Apalagi, mau masuk kelas harus antri, dan saat mengambil jatah makanan harus antri. Begitulah seterusnya saat ingin mendapatkan sesuatu harus tertib dan mengantri.
Pembiasaan-pembiasaan harus tertib dalam antrian ini. Praktek dan tindakan merupakan langkah dalam mengajarkan pendidikan karakter yang dilakukan dengan perlahan-lahan dan secara kontiniu. Mungkin bisa membutuhkan waktu bulanan, bahkan tahunan.
Berbeda dengan ilmu pasti seperti matematika atau fisika, bisa dipelajari secara intensif dalam kurun waktu beberapa bulan saja. Dan, itu bisa dilihat hasilnya setelah dilakukan evaluasi. Termasuk dalam penerapan kedisiplinan, latihan dan keterampilan. Sedangkan sikap sabar dan disiplin dalam antrian adalah persoalan “atitude” dan rasa atau “Sense”.
Memang benar para ahli pendidikan di negara Jepang meletakkan pelajaran atitude (Sikap) di kelas rendah (kelas 1-3) dalam kurikulum mereka di jenjang sekolah dasar. Pendidikan karakter seperti tata krama, sopan santun, dan etika sangat ditekankan ketimbang membaca, menulis dan berhitung (calistung).
Kesemua itu didasarkan kepada pertimbangan bahwa pendidikan karakter, butuh pembiasaan dan contoh tauladan yang berulang-ulang secara kontiniu dalam kurun waktu yang cukup lama. Setelah tiga tahun siswa terbiasa dengan karakter yang baik, maka di kelas tinggi (kelas 4-6) baru penekanan keilmuan pada semua mata pelajaran.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya banyak manfaat yang bisa kita pelajari dari budaya antri dengan nilai-nilai karakter yang tinggi seperti ;
Pertama, pembelajaran menghargai waktu. Manajemen waktu sangat dibutuhkan dalam meraih kesuksesan. Orang yang menghargai waktu akan tidak pernah terlambat dalam mengambil antrian, dia sudah mempertimbangkan segala sesuatunya secara baik.
Kedua, Pembelajaran mengelola kesabaran. Bersabar dalam menunggu giliran merupakan proses pengelolaan emosi yang baik agar tidak ceroboh dalam bertindak. Orang yang terbiasa sabar akan santai ketika mengantri.
Ketiga, Pembelajaran toleransi dengan sesama. Dengan tidak menyerobot antrian kita sudah belajar menghargai hak orang lain yang lebih layak untuk didahulukan. Keempat, Pembelajaran tentang disiplin. Dengan tertib aturan dan mematuhi segala ketentuan beserta konsekuensinya kita sudah belajar mendisiplinkan diri. Disiplin waktu adalah kunci kesuksesan.
Kelima, Pembelajaran tentang atitude. Sikap malu bila datang terlambat. Malu bila menyerobot antrian dan malu bila tidak disiplin dengan waktu. Dan budaya malu ini yang sudah menipis diberbagai kalangan saat sekarang ini.
Keenam, Pembelajaran tentang kejujuran. Dengan mengantri kita belajar jujur pada diri sendiri dan orang lain. Orang yang datang lebih dahulu lebih berhak ketimbang yang datang belakangan. Kejujuran ini senantiasa harus diterapkan dan merupakan nilai yang sangat langka dan mahal di era sekarang ini. Ketika ditanya siapa yang datang lebih duluan ? Beranikan diri untuk menjawab sejujurnya.
Ketujuh, Pembelajaran tentang kreatifitas. Saat menunggu antrian kerjakan hal-hal yang positif dan kreatif agar tidak jenuh menunggu giliran. Misalnya dengan bersilaturrahmi, membaca buku, buka yutube, google artikel dan sebagainya.
Disinilah, letak nilai karakter di balik budaya antri. Mari kita ajarkan putra-putri kita sedini mungkin tentang budaya antri beserta manfaatnya. Kelak mereka kiranya menjadi orang yang disiplin dan berkarakter baik. Mereka akan disenangi banyak orang, juga akan disegani banyak teman. Kita harus belajar lagi kepada bebek yang selalu antri di manapun.
Semoga mengantri menjadi prilaku dan budaya … !
Sumber Referensi :
- M. Ariq. NDK, Pentingnya Membiasakan Budaya Antri, Pendis.kenag.go.id, 2021
- M. Daffa, Membudayakan Antri Sejak Dini di Lingkungan Keluarga, Bestmom.id, 2021
- Nizar Koeswara, Manfaat Penerapan Budaya Antri Semenjak Dini, Citraalam.id, 2021.