Banyak Perusahaan Nunggak Bayar THR, Yakin Ekonomi Pulih? -->

Iklan Atas

Banyak Perusahaan Nunggak Bayar THR, Yakin Ekonomi Pulih?

Kamis, 28 April 2022

 

Ilustrasi

Jakarta  -- Pemerintah terus menggaungkan bahwa pemulihan ekonomi berjalan pada tahun ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani percaya diri pertumbuhan ekonomi tahun ini bisa kembali ke 5 persen.


Apalagi, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia, yang merupakan salah satu indikator menunjukkan peningkatan. Pada Maret 2022 misalnya, PMI berada di posisi 51,3 atau berarti menunjukkan terjadi ekspansi bisnis di Indonesia.


Tapi, kok pemulihan ekonomi yang berjalan seperti tidak menetes ke bawah? Boro-boro pekerja makin sejahtera, pengaduan tunggakan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) justru semakin nyaring terdengar.


Tengok saja, data Posko THR Keagamaan Kementerian Ketenagakerjaan tahun ini yang mencatat 4.058 laporan selama periode 8 April-26 April 2022.


Jumlah laporan tersebut mencakup 2.230 konsultasi online dan 1.828 pengaduan THR secara online. Dari angka itu, sudah terselesaikan sebanyak 1.779 laporan online. Sedangkan sisanya masih dalam proses.


Sebagai pembanding, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengungkapkan total pengaduan THR pada tahun lalu yang masuk ke posko THR Kemnaker hanya sebanyak 1.150 aduan.


Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng berpendapat walau secara angka jumlah laporan terkait THR tahun ini meningkat, namun belum bisa disimpulkan aduan riil meningkat. Pasalnya, pada tahun ini posko aduan juga dibuka secara daring, sehingga data aduan harus dipilah lagi.


"Jangan-jangan ada yang salah kirim atau sekadar bertanya, jadi bisa dilihat angka 4.058 bukan angka final laporan. Jadi saya sulit membandingkan bahwa ini sekarang meningkat, belum tentu," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/4) malam.


Kendati begitu, Robert tak menampik secara objektif di lapangan masih banyak perusahaan yang belum bisa membayar THR sesuai ketentuan atau tepat waktu. Karenanya, dia meminta Kemnaker dan Dinas Ketenagakerjaan untuk memfasilitasi dialog bipartit untuk dicarikan solusi.


Apabila lewat tripartit, kedua pihak menyepakati skema pembayaran THR, namun pengusaha ingkar janji, maka sanksi yang tertuang dalam Surat Edaran Nomor M/1/HK.04/IV/2022 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2022 harus ditegakkan.


Salah satunya, pengusaha yang tidak membayar THR maksimal H-7 sebelum Lebaran mesti mendapat teguran tertulis. Jika tak mempan, maka pemerintah bisa membatasi kegiatan bisnis perusahaan tersebut.


Bila tak ada itikad baik dari perusahaan setelah kegiatan bisnis dibatasi, maka pemerintah akan menghentikan bisnis tersebut sementara waktu. Yang paling parah membekukan kegiatan usaha secara permanen.


"Kemudian harus ada ketegasan sanksi yang diberikan ke perusahaan, jika setelah bipartit tapi tidak menjalankan kesepakatan sanksi fiskal 5 persen dari total THR yang dibayarkan," ungkap Robert.


Ia juga ikut mewanti-wanti lemahnya efektivitas pelaksanaan sanksi SE terkait THR karena pada kenyataannya SDM di lapangan, terutama di kabupaten/kota, sangat minim. Percuma saja punya aturan dengan sederet sanksi yang tidak diimplementasi karena hambatan pengawasan.


"Di kabupaten/kota rentan, kendali pengawasan kita terbatas karena memang aparat pengawasan enggak ada. Bagaimana mengawasi perusahaan jadi tantangan serius," tegasnya.


Menurut Pengamat Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Tadjuddin Noer Effendi, lonjakan aduan pelanggaran THR bermotif ekonomi karena ketidakpastian kian tinggi.


Jika tahun lalu Indonesia lebih fokus menangani pandemi covid-19, di tahun ini RI dihantam oleh berbagai konflik rumit yang tak bisa dikontrol dari dalam negeri, misalnya perang Rusia-Ukraina.


Ia menilai tingginya ketidakpastian ikut menyumbang masalah pembayaran THR. "Situasinya tidak bisa dibandingkan dengan tahun lalu. Walau pandemi, walau ekonomi tersendat-sendat tapi relatif enggak parah, kalau tahun ini kata Ibu Sri Mulyani (Menteri Keuangan) kita malah menuju ke krisis," jelasnya.


Tadjuddin malah menduga pengusaha seret membayarkan THR guna mengantisipasi kemungkinan krisis di depan. "Ini kan double, covid-19 belum pulih, banyak perusahaan baru mau mulai jalan, nah kena perang Rusia-Ukraina, makanya terjadi perubahan," tutur dia.



Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit tak menafikan hak pekerja mendapatkan THR. Namun, ia berharap tidak semua pengusaha dipukul rata. Sebab, masih banyak perusahaan yang terseok-seok. Bahkan, membayar gaji saja masih cicil, apalagi THR.

Pun demikian, ia setuju sanksi dijatuhkan terhadap perusahaan mampu yang bandel tak mau bayar THR. Tapi, untuk mereka yang memang babak belur, ia minta sanksi tak disamaratakan.


"Kalau betul-betul dia kesulitan, betul-betul pemerintah juga cari jalan keluar. Kalau sudah kesulitan, jangankan THR, gaji pun dicicil," terang dia.


Dosen Hukum Perburuhan Fak Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Pengajar dan Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (P3HKI) Agusmidah menduga peningkatan pengaduan atau laporan THR disebabkan ata yang tidak akurat.


Ia mengatakan kasus ketidaktaatan pembayaran THR di lapangan memang tinggi, hanya saja tak tercatat pada tahun-tahun sebelumnya lantaran terbatasnya akses aduan. Kini, saat pintu aduan online dan fisik dibuka, angkanya seakan melonjak.


Selain itu, lanjut dia, pemerintah memberikan keringanan kepada pengusaha tahun lalu, sehingga tunggakan THR tidak dianggap sebagai pelanggaran. Berbeda halnya dengan tahun ini yang wajib dibayarkan.


"Sekarang karena ada posko resmi jadi data terinput, kalau besarnya tiap tahun (kasus jumlahnya) besar itu," imbuhnya.


Dari kacamata Agusmidah, ketidaktaatan pembayaran THR cenderung disebabkan oleh rendahnya kesadaran hukum pengusaha. "Ketidaksiapan mengelola pembayaran non upah ini mengakibatkan tingginya angka aduan pada posko THR," jelasnya.


Dia mengingatkan bahwa tunggakan THR harus punya dasar. Misal, ketidakmampuan pengusaha secara finansial yang harus dibuktikan lewat data keuangan yang disahkan oleh lembaga akuntan pabrik yang netral.


Agusmidah berpendapat bila semua perusahaan menghimpun keuangan perusahaan dan ternyata hasilnya menunjukkan bahwa tahun ini pembayaran THR tidak dapat mengikuti aturan yang ada, maka perlu dilakukan kajian ulang aturan dan segala sanksinya, menyesuaikan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Peraturan Pemerintah (PP).


"Hanya saja jika ini terjadi, maka kemungkinan besar para pekerja semakin jauh untuk mencapai kesejahteraan finansial. Apalagi, jika perusahaan menempatkan bekerja sebagai bagian dari ongkos produksi bukan sebagai mitra," ucapnya.


Ia menambahkan pentingnya membayarkan THR yang akan memperkuat daya beli masyarakat dan memutar roda ekonomi nasional. Ingat, berdasarkan kajian Ombudsman, THR punya potensi daya ungkit ekonomi sekitar Rp194 triliun secara total, dari karyawan swasta mau pun PNS. (*)