Raksasa Gas Rusia Angkat Kaki dari Jerman Buntut Bayar Pakai Rubel -->

Iklan Atas

Raksasa Gas Rusia Angkat Kaki dari Jerman Buntut Bayar Pakai Rubel

Senin, 04 April 2022

Gazprom, raksasa energi Rusia, angkat kaki dari Jerman setelah pertikaian panjang atas desakan Putin membayar gas Rusia dengan rubel.


Jakarta - Gazprom, raksasa energi Rusia, memutuskan angkat kaki dari Jerman, setelah pertikaian panjang akibat desakan Presiden Vladimir Putin yang memaksa negara-negara tak bersahabat membayar gas Rusia dengan mata uang rubel.


Belum diketahui apakah kepergian Gazprom akan berdampak pada ketergantungan Jerman terhadap gas Rusia, mengingat 40 persen kebutuhan gas di Jerman dipasok dari Rusia.


Dilansir CNN Business, Senin (4/4), Gazprom mengakui menghentikan partisipasinya di Gazprom Germania, termasuk menarik aset-aset perusahaan dan bisnis marketing dan perdagangan.


Handelsblatt, harian bisnis Jerman, melaporkan Kementerian Ekonomi Jerman sedang mempertimbangkan mengambil alih unit Gazprom dan Rosneft di negaranya di tengah kekhawatiran pasokan energi, sebagaimana juga dikutip CNNindonesia.com.


Sementara, Pemerintahan Rusia menolak melepaskan. Pengambil-alihan unit usaha Gazprom dan Rosneft di Jerman dan setiap langkah seperti itu akan dianggap pelanggaran hukum internasional.


Sebelumnya, Putin mengeluarkan aturan pembayaran gas Rusia dalam rubel bagi negara-negara tak bersahabat. Negara yang dimaksud ialah negara-negara Barat, seperti Uni Eropa, serta AS yang menghujani Rusia dengan sanksi atas invasi militernya ke Ukraina.


Uni Eropa sendiri merupakan pelanggan gas alam cair Rusia. Saat ini, harga gas di Eropa sudah mahal dengan pasokan yang juga tidak melimpah ruah. Dipastikan kebijakan baru Putin itu akan memperparah krisis energi di benua biru.


"Saya telah memutuskan untuk mengalihkan pembayaran gas alam kita bagi negara-negara yang tidak bersahabat menjadi dalam mata uang rubel Rusia," ujarnya dilansir Reuters, Kamis (24/3).


NPR.org menyebut persyaratan baru pembelian gas Rusia tampaknya bertujuan untuk menopang rubel yang lesu akibat sanksi AS dan negara barat. Buktinya, sesaat setelah Putin mengumumkan kebijakan tersebut, nilai rubel langsung naik terhadap dolar AS dan euro.


Apalagi, harga gas alam memang tengah melonjak di Eropa, dimana Rusia menjadi pemasok besar, yakni sekitar 45 persen dari impor gas alam Eropa.(*)