Suntiang Menjadi Simbol Tanggung Jawab Seorang Ibu -->

Iklan Atas

Suntiang Menjadi Simbol Tanggung Jawab Seorang Ibu

Jumat, 03 Juni 2022
(ilustrasi)


Oleh : Natasya Harifa

(Mahasiswi Unand, Fak. Sastra Minangakabau)



Suntiang merupakan salah satu hiasan kepala yang identik dengan wanita di Minangkabau, Sumatera Barat. Hiasan ini menjadi simbol kebesaran anak daro atau pengantin perempuan di Minangkabau. 


Hiasan kepala ini, aslinya biasanya terbuat dari bahan emas, perak dan tembaga tetapi untuk saat ini sudah banyak di modifikasi seperti menggunakan bahan aluminium yang di sepuh. Suntiang dalam adat Minang sekaligus menjadi lambang beratnya tanggungjawab yang akan diemban seorang wanita setelah menikah. 


Suntiang memiliki dua ukuran. Yaitu Suntiang Gadang (Suntiang Besar) dan Suntiang Ketek (Suntiang Kecil). Pada bagian kepala, pengantin perempuan menggunakan suntiang. Suntiang merupakan hiasan kepala bertingkat dengan bentuk setengah lingkaran dan terdiri dari susunan ornamen bermotif flora dan fauna, seperti bentuk bunga mawar, burung merak, ikan, pisang, dan kupu-kupu. 


Suntiang merupakan simbol bahwa seorang wanita telah melalui masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Dalam hal ini, pengantin wanita harus mengikuti berbagai ritual pernikahan adat.


Jumlah tingkat kembang goyang suntiang pada pengantin wanita minang ini biasanya ganjil. Jumlah tingkat suntiang yang paling tinggi adalah sebelas tingkat sedang yang paling rendah tujuh tingkat. Ada empat jenis hiasan yang disusun membentuk suntiang pada hiasan kepala pengantin wanita Minang ini. 


Lapisan yang paling bawah adalah deretan bungo sarunai (bunga seruni). 3 hingga 5 lapis bunga seruni ini, membentuk dasar ke dalam struktur suntiang minang. Pada zaman dahulu, berat Suntiang bisa mencapai enam atau tujuh kilogram. Semua karena bahannya yang masih menggunakan emas asli, bahkan besi aluminium yang berat. 


Suntiang kuno sama sekali tak praktis seperti sekarang. Bentuknya menyerupai tusuk konde yang harus ditancapkan satu persatu pada rambut pengantin perempuan. Sangat berat dan menyakitkan. Rata-rata warna suntiang di Minangkabau berwarna merah. Tetapi terkadang juga ditemukan modifikasi dengan warna silver atau perak. Lalu dipadankan dengan baju merah sang pengantin wanita.


Kemudian diletakkan deretan bunga gadang sebanyak 3 hingga 5 lapis. Hiasan yang paling atas adalah kambang goyang. Sedangkan hiasan suntiang yang jatuh di pipi kanan dan pipi kiri pengantin minang ini disebut kote-kote. Meski semua masyarakat Minang memang menggunakan suntiang untuk upacara pernikahan adat mereka, tetapi tiap daerah di Sumatera Barat memiliki perbedaan-perbedaan tertentu dalam menyusun rangkaian suntiang. 


Misalnya suntiang yang berasal dari Solok dirangkai tanpa kawat. Ada pula suntiang yang sekaligus memiliki mahkota, ini biasanya berasal dari Tanah Datar. Suntiang Kambang asal Pariaman adalah yang paling sering digunakan. Pada masa lalu, suntiang adalah benda yang sangat berat untuk dikenakan di atas kepala, apalagi seorang pengantin harus mengenakannya selama berjam-jam hingga pesta pernikahan selesai. 


Berat sebuah suntiang gadang bisa mencapai 5 kilogram. Tetapi, seiring perkembangannya kini banyak suntiang gadang yang tidak terlalu berat sehingga bisa lebih nyaman ketika dikenakan di atas kepala pengantin perempuan. 


Oleh karenanya, mengenakan Suntiang tidaklah mudah. Karena pengantin perempuan harus siap berdiri selama seharian penuh sambil menahan beban berkilo-kilo di atas kepala. Beratnya Suntiang melambangkan kesiapan dan tanggung jawab perempuan Minang untuk menjadi seorang Bundo Kanduang dan memikul tanggung jawab sebagai seorang istri dan ibu dari anak-anaknya kelak. Untungnya, Suntiang kini dibuat jauh lebih praktis. Suntiang modern terbuat dari bahan aluminium berbentuk bando setengah lingkaran dan dibuat bertingkat-tingkat. 


Untuk alasan kepraktisan dan menyesuaikan dengan bentuk wajah, tingkatan pada Suntiang dipertahankan ganjil namun jumlah tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan si pengantin. Suntiang merupakan hasil dari akulturasi budaya antara Indonesia dengan negara lain. Suntiang merupakan pencampuran budaya Cina dan masyarakat setempat. 


Namun, sampai saat ini telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Padang Pariaman bahkan telah meluas ke seluruh wilayah Minangkabau. Penyebabnya, tidak terlepas dari keindahan warna dan keberagaman hiasan yang ada dalam suntiang tersebut. Ia pun menjelaskan, ragam hias yang dijadikan sebagai elemen pembentuk suntiang umumnya terinspirasi dari apa yang ada di alam, mulai dari unsur kehidupan yang ada di darat, udara hingga air atau laut.


Sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau pada umumnya yaitu alam takambang jadi guru, artinya semua yang ada di alam luas dapat dijadikan pelajaran atau contoh,” tulis jurnal tersebut. Berat suntiang berkisar antara 3,5 sampai 5 kilogram. Namun, belakangan suntiang dibuat dengan ukuran lebih kecil dan bahan yang lebih ringan untuk memudahkan proses pembuatan dan pemakaiannya.


Filosofi dari beban suntiang ini, melambangkan simbol beratnya tanggung jawab yang besar yang akan dipikul seorang wanita Minang, setelah menikah. Tanggung jawab besar ini, tak hanya sebatas rumah tangga dan keluarga saja, melainkan juga lingkungan sekitarnya tinggal bersama sang suami. Di dalam rumah tangga si perempuan berperan sebagai seorang istri bagi suaminya dan ibu bagi anak-anaknya yang harus menjaga keutuhan rumah tangganya yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. 


Memakai suntiang menjadi kebanggaan tersendiri bagi setiap wanita Minangkabau saat melangsungkan pernikahan. Meski memikul hiasan kepala yang memiliki beban berat, mereka tetap terlihat anggun, sopan dan feminin. Untuk sebuah hiasan kepala, berat suntiang memang tak ringan dan bisa membuat pengantin sakit kepala saat menggunakannya. 


Namun, pengalaman sekali seumur hidup menggunakan perhiasan cantik ini membuat banyak pengantin rela tetap mengenakannya pada hari istimewanya. Penggunaan suntiang sendiri memang jadi daya tarik bagi para pengantin Minang. Sebab, mahkota besar ini tampak begitu anggun dan mewah sehingga memberi kesan bak putri kerajaan. (***)