Oleh : Alfian Tarmizi, M.Pd Penggiat Literasi SDN 17 Ulakan Tapakis, Padang Pariaman |
“Tolaklah kejahatan dengan kebaikan, niscaya raja akan tunduk di kakimu. Belum tentu yang baik itu baik, dan buruk itu tidak baik, tergantung siapa yang memandangnya” - Al-Ghazali.
Pada suatu ketika, Imam Al-Gazali atau lebih dikenal di Negeri Belanda dengan sebutan El-Gazel sedang berada di Majlis ilmu untuk memberi kuliah kepada para muallim, yang pada zaman kini, setara dengan para doktor (S-3). Sebelum memulai kuliah umum, ia bertanya kepada para hadirin.
Apakah yang paling jauh, dan apakah yang paling ringan ? Maka berlomba-lombalah para ilmuan tadi menjawab. Ada yang menjawab, paling jauh itu planet pluto, langit, matahari dan sebagainya. Dan paling ringan itu, kertas, kapas, sehelai benang, selembar bulu dan banyak lagi jawaban lain dengan versi berbeda.
Lantas, Imam Al-Gazali tersenyum dengan menyatakan “Anda semua benar, sesuai pemahaman masing-masing. Tapi bukan itu maksud saya. Ada makna di balik kalimat pertanyaan sederhana itu. Kita dalam hidup ini, harus berpikir jauh ke depan dan berpikir jauh ke belakang"
Ungkapan guru besar pada zamannya itu. Sejenak hadirin diam membisu. Agaknya, mungkin dalam hati mereka membathin. Sungguh dangkal ilmu yang mereka banggakan selama ini.
Yang saya maksud dengan paling jauh itu, jelas Imam Al-Gazali, adalah waktu yang telah kita lalui beberapa puluh tahun di belakang kita. Sangat jauh, tidak ada yang bisa menjangkaunya, apalagi untuk menjemputnya dan mengulangnya kembali. Tidak akan mampu untuk membalikkannya. Kita hanya bisa memandangi, dan merenungi waktu yang telah disia-siakan selama ini.
Begitu juga dengan paling ringan, urai Imam Al-Gazali. Yakni meninggalkan perintah yang wajib yang dibebankan kepada kita, misalnya. Betapa mudah kita meninggalkan kewajiban beribadah kepada Yang Maha Kuasa. Kita mudah sekali meninggalkan tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita, dikarenakan tergoda dengan manisnya kenikmatan dunia.
Bahkan, kita terlena, silau, mabuk dengan fatamorgana yang menyesatkan. Pun demikian, buruk itu belum tentu tidak baik. Juga, baik itu belum tentu lebih bagus. Tergantung siapa memandang dan memahaminya.
Sebagai contoh, orang yang dizhalimi berkali-kali belum tentu mendendam. Mungkin saja suatu waktu akan membantu orang yang menzhaliminya. Sepintas kita lihat ini adalah buruk, tidak baik, kurang patut.
Tetapi, ingatlah seratus tokoh di dunia memilih Muhammad SAW sebagai idola serta pemimpin termulia yang memaafkan orang yang telah meludahi, melempari dengan kotoran dan mencekiknya.
Para pembaca yang budiman, inilah hikmah dibalik literasi dasar yang kita kuasai selama ini. Sungguh betapa majunya pada zaman ini, kita kalah jauh dengan zaman dulu, yang perkembangan teknologinya sangat jauh berbeda.
Di zaman canggih ini, kita malah miskin dalam memahami literasi, dikarenakan kita terlalu disibukkan oleh urusan dunia yang galmour dan melenakan. Kita tidak punya waktu dan kesempatan untuk berpikir lebih dalam lagi.
Sebagian dikalangan kita kebingungan dengan gencarnya informasi yang bertebaran pada beragam media. Kenapa ... ? karena kita memahami informasi dengan hanya sepenggal atau sepintas saja. Tanpa ada waktu untuk menelaah informasi tersebut.
Kita lebih memilih sibuk dengan pekerjaan, anak, istri, karib kerabat dan handai taulan. Sementara pada sisi lain, zaman telah menggilas tanpa disadari.
Kalau ditelusuri dengan lebih mendalam, memang benar kita telah menyia-nyiakan waktu selama ini. Waktu itu ibarat pedang yang akan menebas jarak antara kamu. (Imam Ali)
Penyesalan akan datang ketika waktu telah berlalu. Yang bisa kita lakukan, hanyalah mengambil pelajaran dari masa lalu agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Begitu juga dengan latahnya manusia sekarang, dengan mudahnya melanggar janji, mudah melupakan kewajiban, ringan meninggalkan kewajiban beribadah. Sering melanggar peraturan. Suka menyerobot antrian. Suka menindas yang lemah. Menari di atas penderitaan orang lain. Rajin menggosip, menjatuhkan teman serta menyebarkan fitnah dengan pembunuhan karakter. Padahal, memfitnah demikian itu lebih kejam dari pembunuhan
Jadi, dari ilustrasi Imam Al-ghazali ini, ingin memaparkan kepada kita betapa rancu, juga tipisnya perbedaan baik dan buruk di zaman ini. So, baik bagi kita, belum tentu baik bagi orang lain. Tidak baik bagi pendapat umum, justru malah sebaliknya itu yang terbaik menurut sudut pandang kita.
Terlalu cepat menilai dan mengklaim atau menghakimi kepada sesuatu merupakan pembodohan terhadap diri sendiri. Dengan demikian, telah menutup mata hati untuk menilai atau melihat kebaikan orang lain.
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk kembali merenungi tahun 2022 yang telah dilalui selama ini. Kita kembali putar kilas balik, memori terhadap kejadian masa lalu yang telah digoreskan. Petiklah pelajarannya, jangan terulang kesalahan yang sama di tahun depan. Kita perbaiki diri mana yang kurang, dan yang salah. Hindari sedapat mungkin.
Bahkan kalau bisa, hilangkan kebiasaan ringan dalam meninggalkan perkara-perkara yang wajib, dan seharusnya dilakukan. Bukankah hari ini lebih baik dari hari kemaren. Dan hari esok lebih baik dari hari ini.
Selamat menikmati tahun baru 2023 ... !
Daftar Bacaan:
- Republika.Co.Id, Jakarta
- Al-Gazali, Nasihat Al-Muluk, Paramadina:Jakarta, 1998
- Alfian Tarmizi, S.Ag, Pemikiran Al-Ghazali : Tinjauan Kritis Filsafat Perenial, IAIN Syahid Jakarta, 1998.