Gedung Senter -->

Iklan Atas

Gedung Senter

Selasa, 31 Januari 2023
A.R. Rizal



Padang, fajarsumbar.com-Belakangan, muncul olok-olok di media sosial. Olok-olok itu terkait dengan keberadaan Gedung Bagindo Aziz Chan yang kini disulap menjadi Youth Center. Gedung yang digagas Walikota Hendri Septa itu diplesetkan menjadi toko senter. Alias, tempat jualan senter. 


Center sebagai nama baru Gedung Bagindo Aziz Chan kalau dibaca dengan kaidah Bahasa Indonesia menjadi senter. Senter mengacu kepada alat penerangan yang bisa dibawa kemana-mana. Benda ini biasa dibawa oleh petugas ronda ketika melakukan inpeksi keamanan lingkungan. 


Apakah Gedung Bagindo Aziz Chan berubah menjadi pos ronda? Tentu tidak begitu. Gedung yang semula menjadi kantor Dinas Pendidikan Kota Padang itu kini menjadi pusat kreatif dan inovasi bagi anak muda. Tempat untuk melahirkan wirausahan muda di berbagai bidang ekonomi kreatif, terutama yang berbasis digital. 


Mengacu kaidah Bahasa Inggris, penulisan nama Youth Center tidaklah salah. Penulisan center itu ada dua versi. Versi American English ditulis center. Sementara, dalam versi British English ditulis centre. Berarti, penulisan Youth Center mengacu pada American English.


Olok-olok tentang nama Youth Center tentu bukan tanpa alasan. Ada makna kritik di dalamnya. Dalam kebebasan informasi, publik berhak mengkritik apa saja. Terutama, hal-hal yang terkait dengan kepentingan umum.


Nama Youth Center memang pantas dikritik. Mengapa harus memakai Bahasa Inggris? Padahal, kata youth center itu sendiri sudah ada padanannya dalam Bahasa Indonesia. Sebagai warga negara yang mencintai bahasa nasional, seharusnya penamaan baru gedung Bagindo Aziz Chan menggunakan Bahasa Indonesia. 


Olok-olok nama center menjadi kritik terhadap kelatahan orang-orang sekarang. Terutama, kelatahan pejabat yang sok keinggris-inggrisan. Terhadap pejabat, ini bukan hanya sekadar kritikan. Tapi, ini adalah sebuah tamparan. Pejabat, apalagi kepala daerah seharusnya menjadi contoh terhadap nasionalisme. Salah satu sisi nasionalisme itu adalah cinta kepada bahasa nasional. Apalagi, saat ini sudah ada Undang-undang No. 24 Tahun 2004 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan yang mewajibkan setiap warga negara untuk menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.


Lelucon tentang nama baru Gedung Bagindo Aziz Chan di sisi lain sebenarnya hanyalah sebuah permulaan. Lelucon itu lebih jauh merupakan ktirik yang lebih dalam perihal keberadaan gedung tersebut. Pertanyaan besarnya, apakah Gedung Bagindo Aziz Chan sudah menjadi pusat kreativitas pemuda Kota Padang? Apa saja program pengembangan kreativitas yang dilakukan di sana? Bagaimana hasilnya? Kreativitas dan inovasi apa yang telah dilahirkan? Atau, pertanyaan sederhananya, bagaimana gedung itu dikelola sekarang? Apakah pengelolanya sendiri cukup kreatif dan inovatif? Atau, gedung itu sekarang hanya menjadi tonggak dan dinding beton dengan kecanggihan teknologi di dalamnya?


Pertanyaan-pertanyaan kritis wajar saja dilontarkan oleh warga kota. Pasalnya, Gedung Bagindo Aziz Chan adalah gedung publik. Pembangunannya menjadi pusat kreativitas anak muda menghabiskan dana yang tak sedikit. Dana yang berasal dari APBD Kota Padang. Uang rakyat! Tak hanya menghabiskan miliaran uang rakyat, pembangunan gedung ini juga menggusur Dinas Pendidikan. Terpaksalah Dinas Pendidikan Kota Padang ngontrak di bangunan milik perguruan tinggi swasta. Uang rakyat dihabiskan lagi untuk membayar kontrakan yang tak sedikit pula jumlahnya.


Pertanyaan-pertanyaan kritis tentang keberadaan Youth Center wajar mengemuka di tengah masyarakat. Muncul kekhawatiran, gedung ini hanya akan menjadi monumental. Sekadar alat pencitraan tentang kehebatan penguasa kota sekarang. Sementara, tujuan sebagai pusat kreativitas anak muda tak pernah tercapai. 


Sejak semula, keberadaan Youth Center dipertanyakan oleh banyak pihak. Apakah gedung ini dibutuhkan? Ada yang memberi pandangan, tempat kreativitas yang terpusat tidaklah efektif. Lebih baik, pemerintah kota membuat ruang kreativitas terbuka yang tersebar di berbagai lokasi di Kota Padang. Karena, di zaman digital saat ini, sangat sulit untuk memobilisasi orang-orang di suatu tempat. Apalagi, mengumpulkan orang-orang kreatif. Anak muda kreatif itu biasanya memiliki pikiran yang bebas. Mereka tak terikat pada satu tempat. Melewati ruang dan waktu. Seperti Jack Ma yang membangun Alibaba dari sebuah apartemen kecil di Hangzhou, China. 


Logika sederhananya begini, tak mungkin anak-anak dari Padang pinggir kota jauh-jauh ke Youth Center hanya untuk belajar menari. Tidak mungkin pula penggila aplikasi akan jauh-jauh ke Youth Center hanya untuk mendapatkan wifi gratis. Sementara, ia bisa bekerja lebih baik dengan berdiam diri di kamar kos-kosannya. Untuk memamerkan produk, tak butuh lagi galeri secara fisik. Orang saja kini jualan secara online. Jadi, aktivitas kreatif di gedung megah yang terpusat itu bisa menjadi tidak efektif dan tidak efisien. 


Sudah bisa dipastikan, takkan ada evaluasi terhadap pencapaian Youth Center yang dikelola Dinas Pariwisata Kota Padang ini. Lebih lagi, tak ada pula dasar yang bisa digunakan untuk mengukur pencapaiannya. Kreativitas itu sangat sulit diukur. Ukuran kuantitatif tak bisa. Pada akhirnya, Youth Center itu hanya akan bertahan sebagai program dari sebuah rezim. Ketika rezim beganti, maka berubahlah kebijakan. Bisa jadi, Youth Center nanti akan kembali menjadi kantor Dinas Pendidikan. Bisa jadi pula, jadi gedung pertemuan. Bisa juga jadi markas Pol PP seperti di masa lalu. Atau, dikembalikan lagi jadi bangunan cagar budaya sebagai USIS Lincoln Library. (a.r.rizal)