Pengusaha Pertashop Mengeluh, Terus Merugi dan Banyak yang Tutup -->

Iklan Atas

Pengusaha Pertashop Mengeluh, Terus Merugi dan Banyak yang Tutup

Jumat, 24 Februari 2023

Sejumlah pengusaha pertashop memilih untuk menutup usahanya karena terus mengalami penurunan omzet.



GUNUNGKIDUL -Sejumlah pengusaha pertashop memilih untuk menutup usahanya karena terus mengalami penurunan omzet penjualan usai lonjakan harga pertamax beberapa waktu yang lalu. 


Mereka mengaku tak mampu lagi membayar karyawan. Meskipun harga pertamax sudah turun kembali menjadi Rp12.800 namun ternyata tak lantas membuat usaha mereka normal kembali sama seperti ketika harga di Rp10.000 perliternya. Ada yang memilih untuk menutup usaha mereka namun ada juga tetap melanjutkan bisnisnya dengan strategi khusus.


Pengusaha pertashop asal Gunungkidul, Setya Prapanca mengatakan, sejak harga pertamax turun ke Rp12.800 memang ada yang mencatat kenaikan penjualannya, ada yang tetap stabil namun miliknya pribadi justru malah turun. Menurut dugaan dia memang sudah perilaku konsumen yang sudah berubah,sebagaimana dikutip iNews.id.


"Konsumen sudah enggak balik lagi ke pertamax,"kata mantan Sekjen Merah Putih (Pengusaha Pertashop) DPD DIY-Jateng ini, Jumat (24/2/2023).


Kondisi tersebut diperparah dengan semakin banyak penjual pertalite bermunculan karena menyiasati lonjakan harga pertamax beberapa waktu lalu. Di samping memang disparitas harga yang cukup tinggi antara pertamax dengan pertalite.  Dia mengakui jika satu persatu mulai bertumbangan karena terus merugi dan tidak bisa membayar karyawan. 


Jika sekarang masih ada pertashop yang mangkrak meskipun sudah selesai dibangun, hal tersebut karena perizinan belum selesai bukan karena takut merugi. "Perizinan dulu sama sekarang memang berbeda ternyata," ujar dia.


Dia mengungkapkan untuk saat ini  perizinan harus selesai di awal baru boleh beroperasi. Namun dulu sewaktu masa percepatan pembangunan, ada dispensasi dengan membalik prosesnya di mana ketika Pertashop sudah selesai dibangun dan boleh beroperasi dulu sambil perizinan di perjalanan. 


Dia mengakui jika waktu pertama buka lalu yaitu saat harga pertamax masih di angka Rp10.000 penjualan terus mengalami kenaikan. Namun ketika harga melonjak naik maka perlahan-lahan turun dan jika diakumulasi ternyata tidak mampu menutup biaya operasional. Konsumen yang awalnya sudah menggunakan pertamax akhirnya beralih ke pertalite lagi, bahkan pengguna pertamax lama justru memilih pertalite karena disparitas harganya cukup besar. Di samping memang para pengecer pertalite bermunculan memanfaatkan peluang ini. 


"Di Gunungkidul yang sudah tutup ada 5,"ujarnya. Menurutnya, Pertashop yang tidak beroperasi saat ini ada dua permasalahan. Yang pertama karena memang omzet masih kecil dan tidak kuat membayar karyawan dan yang kedua karena belum melengkapi perizinan yg dipersyaratkan Pertamina. Melihat kondisi ini, lanjut dia, Pertamina sebenarnya responsif hanya saja mereka membantu sejauh yang mereka bisa. Namun terkait harga, ternyata meskipun non subsidipun tetap yang menentukan itu pemerintah.


Salah satu yang dilakukan PT Pertamina adalah dengan mengusahakan program ekosistem usaha untuk NFR di Pertashop seperti kerjasama dgn PT Pos, BRILInk, Bulog maupun pelumas Pertamina. Walaupun demikian pengusaha pertashop belum banyak yang memanfaatkan program tersebut karena terbentur dana atau satu dan lain. 


Dian, salah seorang pemilik Pertashop di Kapanewon Semin misalnya. Dia mengaku sudah satu bulan ini menutup usahanya karena terus merugi. Omset penjualannya terus mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Tentu hal tersebut membuatnya kesulitan membayar biaya operasional. Dian mengaku waktu bulan-bulan awal dia membuka usaha Pertashop, dia mampu membukukan penjualan sekitar 1.000 liter perhari. 


Namun ketika harga pertamax melonjak dari Rp10.000 menjadi Rp15.000, omsetnya langsung anjlok 50 persen lebih. "Karena naik maka otomatis banyak yang beralih ke pertalite lagi,"ujar dia. Pemerintah kemudian menurunkan harga pertamax di angka Rp12.800 seperti sekarang. 


Kendati demikian ternyata tak mampu mendongkrak penjualan. Omsetnya terus mengalami penurunan bahkan bulan kemarin hanya 150 liter perhari. Kondisi ini tentu membuatnya merugi dan harus tombok untuk membayar biaya operasional seperti karyawan dan Listrik. Bahkan untuk membayar gaji karyawan, dia harus merogoh koceknya cukup dalam. Sehingga daripada terus merugi maka sebulan ini dia memilih menutup usahanya tersebut.  "Saya berharap  selisih antara pertalite tidak begitu jauh. Atau ya matikan pengecer pertalite,"harapnya. 


Berbeda dengan Mahmudi Hartanto, pengusaha Pertashop yang ada di Saptosari Gunungkidul ini. Dia mengaku ketika ada lonjakan harga pertamax beberapa waktu lalu, memang omsetnya mengalami penurunan hingga 50 persen. Namun kemudian ketika ada penurunan harga pertamax ke level Rp12.800 omsetnya kembali naik 25 persen. "Dulu dari 1.000 liter perhari turun jadi 500 liter. 


Kemudian naik di angka 650 liter perhari, dan sudah stabil meski belum pulih,"ujar dia. Dia memang diuntungkan dengan lokasi Pertashop yang berada di pinggir Jalur Jalan Lintas Selatan (JJLS) tersebut. Karena jarak untuk ke Pom Bensin (SPBU) memang cukup jauh di mana harus menempuh perjalanan sejauh 10 kilometer. 


Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility (CSR) PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah, Brasto Galih Nugroho mengatakan, pertashop merupakan bisnis jangka panjang dan memiliki pangsa pasar yang tidak tersentuh oleh SPBU. 


Adapun bisnis pertashop bisa ditunjang dengan bisnis non-penjualan BBM di lokasi pertashop selama memenuhi aspek keselamatan. "Kita berusaha membantu menghubungkan dengan BUMN lain yang memiliki program bisnis untuk masyarakat juga,"kata dia.(*)