Kebermanfaatan dan Praktik Baik Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya -->

Iklan Atas

Kebermanfaatan dan Praktik Baik Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya

Selasa, 18 April 2023

 

.


Oleh: Arlina, S.S.M.Pd

(Guru SMP N 33 Padang)


Peran dan nilai seorang guru sebenarnya sudah ada relevansinya sejak dulu dengan filosofi Ki Hajar Dewantara yaitu Ing Ngarso Sing Tulodo (di depan harus menjadi teladan), Ing Madyo Mangun Karso (di tengah harus membangun kemauan dan semangat), Tut Wuri Handayani (di belakang harus memberikan dorongan dan pengaruh yang postif dan baik). 


Dengan demikian, pembelajaran yang dilakukan dapat memberikan keselamatan dan rasa gembira, menempatkan siswa sebagai manusia yang dapat bermanfaat bagi manusia lain dan masyarakat pada masanya nanti. Guru harus menjadi pamong, fasilitataor dan motivator bagi anak didik. Guru harus mengaitkan setiap materi pembelajaran dengan pembentukan budi pekerti (karakter) dan profil pelajar Pancasila. 


Terjadi perubahan mindset (pola pikir) penulis bahwasanya kita sebagai pendidik, tidak bisa memaksakan bahwa murid harus menjadi yang kita inginkan. Jika kita tanam padi, yang akan tumbuh adalah padi, bukan jagung. Maka, perlu “tangan dingin” petani (pendidik) agar benih padi itu tumbuh optimal. 


Sebagai seorang guru tentunya kita memiliki modal 4 standar kompetensi guru. Diantaranya kompetensi profesional seperti menguasai kurikulum dan materi, mampu memanfaatkan TIK dalam proses pembelajaran dan juga pengembangan diri. Selain itu, kompetensi pedagogik, yaitu keterampilan atau kemampuan guru yang bisa mengelola suatu proses pembelajaran atau interaksi belajar mengajar dengan peserta didik, mengenal karakteristik peserta didik, mampu mengembangkan potensi para peserta didik, dsb. 


Penulis harus membuka mindset (pola pikir), mengupdate dan mengupgrade lagi kemampuan sebagai seorang guru (pendidik) agar bisa mewujudkan dan menerapkan filosofi pendidkan Ki Hajar Dewantara di lingkungan sekolah dan kelas khususnya. Penulis berusaha akan memaksimalkan Merdeka Belajar dan Keberpihakan kepada murid, tetapi tetap dalam batasan dan tuntunan dan sesuai dengan filosofi pemikiran Ki Hajar Dewantara dan mengaitkan dengan Profil Pelajar Pancasila, yaitu 1)Beriman dan Bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia; 2)Mandiri; 3)Bergotongroyong; 4)Berkebinnekaan global; 5) Bernalar kritis; 6) Kreatif.


Dalam proses mengajar dan mendidik, anak diberi kebebasan, tetapi pendidik sebagai “pamong” harus memberi tuntunan dan arahan. Hal ini dilakukan agar anak tidak kehilangan arah dan membahayakan dirinya. Seorang “pamong” dapat memberikan “tuntunan” agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dasar Pendiidkan anak berhubungan dengan kodrat alam dan dan kodrat zaman. “Alam takambang jadi guru” merupakan filosofi pendidikan orang Minang (kodrat alam). 


Anak-anak di Minangkabau dididik untuk mengembangkan potensinya sesuai kemajuan peradaban tetapi tetap menjunjung tinggi budaya Minangkabau (kodrat zaman). Anak Minangkabau juga dididik sesuai dengan kodrat bermain mereka melalui beberapa permainan edukasi seperti tangkelek panjang, silek dan sebagainya.


Untuk itu, guru seyogyanya bisa merancang metode atau media pembelajaran yang bervariasi dan menarik, mampu menggali bakat dan minat serta potensi yang berbeda pada setiap anak didik agar lebih optimal dan maksimal, menjadi fasilitator, dan lain-lain. Terkait dengan kodrat anak “bermain”, guru juga bisa melaksanakan proses pembelajaran melalui teknik “bermain” dan media permainan agar terwujud konsep pembelajaran yang menyenangkan, yang akan menumbuhkan keaktifan dan antusias murid dalam belajar.


Guru sering beranggapan bahwa jika saja anak anak disiplin, pasti mereka bisa belajar. Akan tetapi guru mungkin melupakan landasan agar anak disiplin. Seyogyanya dari awal, guru sudah memiliki pengetahuan tentang 3 motivasi perilaku manusia, yaitu untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman, untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain, dan untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya. Disiplin dan bentuk budaya positif lainnya di sekolah, khususnya dalam sebuah kelas, tentu tidak terlepas dari setiap perilaku dan tindakan yang dilakukan warganya. Perilaku warga kelas tersebut menjadi sebuah kebiasaan, yang akhirnya membentuk sebuah budaya positif.     


Untuk terbentuknya budaya positif, pertama-tama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan-keyakinan atau prinsip-prinsip dasar bersama di antara para warga kelas. Jika kita berbicara tentang mengapa kita harus menggunakan masker pada masa pandemi, tentu jawabnya adalah untuk “kesehatan dan atau keselamatan”. 


Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. 


Untuk terbentuknya sebuah budaya positif, pertama perlu diciptakan dan disepakati keyakinan atau prinsip kelas di antara para warga kelas. Karena keyakinan akan memotivasi seseorang dari dalam atau memotivasi secara intrinsik (Gossen(1998). Disamping itu, guru juga perlu memahami tentang 5 kebutuhan dasar manusia (bertahan hidup, cinta dan kasih sayang, kebebasan, kesenangan dan kekuasaan). Dengan demikian, guru dapat menerapkan 5 posisi kontrol dan jenis disiplin restitusi yang tepat.


Di awal semester, penulis menerapkan keyakinan kelas ini di kelas yang penulis ajar. Dengan menggunakan media kertas berwarna seperti “sticky notes” murid diberikan masing-masing satu kertas untuk menuliskan tentang keyakinan kelas yang akan disepakati. Kita bisa menanyakan pada murid, kelas yang bagaiman yang mereka inginkan atau cara belajar seperti apa yang mereka impikan. Ada yang ingin kelas yang nyaman, bersih, memiliki rak buku, kelas yang tidak ada bully atau kekerasan, kelas yang solid dan sebagainya. 


Keinginan mereka tersebut dituliskan di kertas berwarna tadi dan ditempelkan di papan tulis. Setelah itu, guru meminta satu atau dua orang murid untuk membacakannya. Dengan jawaban yang beragam tersebut, guru dan murid menyimpulkan bersama-sama, apa rumusan keyakinan kelas, di antaranya adalah disiplin, saling menghargai, toleransi, kesehatan dan keselamatan. Keyakinan kelas ini nantinya akan mengerucut menjadi “Kesepakatan Kelas”, lalu ditandangani oleh semua warga kelas di sebuah karton dan dipajang di dalam kelas.


Selaras dengan apa yang disampaikan Bapak Ki Hajar Dewantara, “Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri”, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu”. Tentu ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi kita agar mampu mewujudkan keinginan anak didik untuk mau dan “betah” berada di dalam kelas. Dari apa yang menjadi keinginan mayoritas murid, penulis melihat bahwa mereka menginginkan khususnya dalam pembelajaran Bahasa Inggris, agar menggunakan game dalam proses pembelajaran. Karena memang anak-anak itu kodratnyaa adalah “bermain”. 


Penulis berharap bisa menuntun mereka belajar, menumbuhkan kecintaan terhadap Bahasa Inggris, lalu akan meningkatkan nilai dan prestasi mereka nantinya. Penulis akan berupaya untuk melibatkan anak-anak dalam pembelajaran agar bisa mengenal murid lebih dekat, menjadikan pembelajaran lebih bermakna dan menghargai proses, serta melakukan aksi nyata dalam Merdeka Belajar. 


Lalu,dengan adanya kesepakatan kelas, seperti disiplin dalam mengerjakan tugas, disiplin dalam menjaga kebersihan kelas, menghargai teman dan guru, dan sebagainya, diharapkan akan terbangun komunikasi yang baik antara murid dan guru, tentang bagaimana kelas yang diinginkan dan proses pembelajaran yang diharapkan. 


Dengan demikian, akan terwujud kelas yang kondusif, lingkungan yang positif, budaya positif serta pembelajaran yang berpihak pada murid, sehingga terwujudlah Merdeka Belajar dan Merdeka Berbudaya. Semoga.(***)