Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi terkait pasal dalam UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur tentang sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka.
Dalam putusan perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 tersebut, MK memutuskan bahwa pemilu akan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Hakim ketua Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di gedung MK, Jakarta, pada Kamis (15/6) menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya."
Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan implikasi dan implementasi penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya bergantung pada pilihan sistem pemilu. Hakim konstitusi Sadli Isra menyatakan bahwa setiap sistem pemilu memiliki kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan tanpa mengubah sistem itu sendiri.
Sadli Isra menjelaskan bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, perbaikan dan penyempurnaan dalam penyelenggaraan pemilu dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hingga hak dan kebebasan berekspresi.
Dalam putusan ini, terdapat satu pendapat berbeda atau dissenting opinion dari hakim konstitusi Arief Hidayat.
Permohonan uji materi diajukan pada 14 November 2022. MK menerima permohonan dari lima orang yang keberatan dengan sistem proporsional terbuka, mereka menginginkan penerapan sistem proporsional tertutup.
Dalam sistem proporsional tertutup, pemilih tidak dapat memilih calon anggota legislatif secara langsung. Pemilih hanya dapat memilih partai politik, sehingga partai memiliki kendali penuh dalam menentukan siapa yang duduk di parlemen.
Para pemohon terdiri dari Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP cabang Banyuwangi), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi (Bacaleg 2024), Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jakarta Selatan), Riyanto (warga Pekalongan), dan Nono Marijono (warga Depok). Mereka telah memilih pengacara dari kantor hukum Din Law Group sebagai kuasa mereka.
Dari seluruh partai politik di DPR, hanya PDIP yang menginginkan penerapan sistem proporsional tertutup. Sementara partai politik lainnya meminta agar MK tidak mengubah sistem pemilu.
Mayoritas partai politik menegaskan bahwa sistem pemungutan suara yang digunakan dalam pemilu merupakan kewenangan pembuat undang-undang, yaitu presiden dan DPR. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa MK tidak berwenang untuk mengubahnya melalui putusan uji materi.(dd)