Pakar Ilmu Perundang-undangan Soroti Ketidakkompakan Pimpinan KPK dalam Kasus Suap TNI -->

Iklan Atas

Pakar Ilmu Perundang-undangan Soroti Ketidakkompakan Pimpinan KPK dalam Kasus Suap TNI

Sabtu, 29 Juli 2023
ilustrasi


Jakarta - Pakar Ilmu Perundang-undangan, Aan Eko Widiarto, mengkritik ketidakkompakan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah mereka meminta maatas penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Marsdya Henri Alfiandi, dan Koordinator Administrasi Basarnas, Letkol Adm Afri Budi, sebagai tersangka kasus suap.


Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya tersebut menyoroti pernyataan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pada saat penetapan tersangka Henri dan Afri pada Rabu (26/7).


Dua hari setelahnya, Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, mengaku khilaf dan meminta maaf kepada petinggi TNI karena adanya kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka.


"Antara pimpinan KPK tidak kompak. Pak Alex dan Pak Tanak berbeda pendapat. Ini yang disesalkan," ujar.


Meskipun demikian, Aan menegaskan bahwa KPK sudah tepat menggunakan Pasal 42 Undang-Undang (UU) dalam perkara ini. UU tersebut dinilai lebih baru daripada UU tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.


Selain itu, Aan juga menyoroti kerugian yang diatur dalam Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, kasus yang melibatkan pejabat Basarnas sebagai anggota TNI aktif lebih berkaitan dengan kepentingan umum, sehingga seharusnya diproses di pengadilan umum.


"Dalam perkara ini, Basarnas adalah lembaga non organik TNI, dan perkaranya terkait pengadaan barang, bukan alat utama sistem pertahanan, melainkan deteksi korban," jelas Aan.


Namun, Aan menyebut dasar hukum yang digunakan oleh Tanak masih kabur karena hanya menyebutkan empat lingkungan peradilan dan langsung menyimpulkan bahwa peradilan militer akan mengadili militer. Menurut Aan, Tanak tidak mempertimbangkan ketentuan konektivitas sebagaimana diatur dalam KUHAP.


Lebih lanjut, Aan mendorong lembaga antirasuah untuk berkomunikasi dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto jika terlibat kasus yang melibatkan anggota TNI aktif. Hal ini merujuk pada Pasal 89 ayat 1 KUHAP, yang menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh pihak yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer akan diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman, perkara tersebut harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.


"Agar masyarakat tidak bingung dalam hal ini, perlu ada komunikasi antara KPK dan Panglima. Kalau dalam bahasanya KUHAP itu bahkan Menteri Pertahanan yang seharusnya berkomunikasi, Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman," katanya.


"Ini karena Undang-Undang masa lalu, kalau sekarang Menteri Kehakiman sudah tidak ada. Kalau sekarang ya seharusnya Menhan karena atasan dari Panglima dengan KPK sebagai lembaga negara," tambah dia.


Aan juga menyinggung status tersangka Henri dan Afri setelah KPK mengaku khilaf. Menurutnya, lembaga pimpinan Firli Bahuri tersebut harus mencabut status tersangka yang telah disematkan sebelumnya jika mengakui bahwa tidak berwenang dalam kasus tersebut. Selanjutnya, penanganan kasus ini seharusnya diserahkan ke peradilan militer sesuai dengan hukum yang berlaku.


Sebelumnya, KPK menyatakan khilaf dan meminta maaf kepada petinggi TNI setelah terjadi kekeliruan dalam koordinasi penetapan tersangka Henri dan Afri dalam kasus yang bermula dari operasi tangkap tangan KPK.


Petinggi TNI yang dipimpin oleh Danpuspom TNI, Marsda Agung Handoko, mengunjungi Gedung Merah Putih KPK pada Jumat (28/7) untuk berkoordinasi mengenai kasus dugaan tindak pidana di lingkungan Basarnas.


"Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI," jelas Johanis Tanak usai pertemuan dengan petinggi TNI tersebut di kantornya, Jakarta Selatan.


"Atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," tambahnya.


Johanis mengungkapkan bahwa dalam pelaksanaan operasi tangkap tangan pada awal pekan tersebut, tim penyidik KPK menemukan dan mengetahui dugaan keterlibatan anggota TNI yang berdinas di lingkungan Basarnas.


"Dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwa manakala ada keterlibatan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang menanganinya," ujarnya.


Johanis menegaskan bahwa hal ini mengacu pada Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang membedakan empat jenis peradilan, yaitu umum, militer, tata usaha negara (TUN), dan agama. Dia juga menegaskan bahwa penanganan kasus tersebut tetap akan dilanjutkan secara konektivitas antara KPK dan POM TNI.(dj)