Fenomena Perayaan 17 Agustus, Antara Euforia dan Nasionalisme -->

Iklan Atas

Fenomena Perayaan 17 Agustus, Antara Euforia dan Nasionalisme

Senin, 21 Agustus 2023
Oleh ; Alfian Tarmizi, M.Pd
Kepala SDN 17 Ulakan Tapakis
Kabupaten Padang Pariaman


Suasana pagi, Kamis 17 Agustus 2023, cerah luar biasa seakan ingin menyambut HUT RI ke-78 yang dilaksanakan secara serentak di seantero pelosok negeri Negara Republik Indonesia. 


Di setiap Kecamatan diadakan Upacara Penaikan Bendera Merah Putih yang diiringi dengan  pawai alegoris. Semua instansi dan sekolah, mulai jenjang SD s/d SMA, Perangkat Nagari/Lurah, Puskesmas, PKK, KUA, Polsek semua tumpah ruah menyatu di jalan-jalan utama Kecamatan, juga jalan Kabupaten.


Mereka memakai pakaian adat tradisional, pakaian nasional, pakaian dinas, pakaian sekolah, pakai kebaya, maupun identitas yang mencirikan sebuah instansi. Berbaris rapi di iringi musik drumband, gandang tasa, rebana dan alat musik lainnya. 


Sungguh meriah. Semua wajah terlihat gembira. Tidak ada yang kelihatan bersedih. Ada rasa bangga yang dimiliki setiap orang. Entah karena bisa ikut pawai, karena berpakaian bagus dan indah, pakai make up yang cantik.


Atau, karena iringan musik yang indah, pukulan gendang yang berirama, bunyi pluit yang nyaring, atau memang keinginan kuat untuk ikut andil. Semua perasaan berbaur jadi satu. Gembira ria menyambut HUT RI yang ke 78. 


Ketika melihat setiap perempatan jalan desa, Balai Desa atau Pos Kamling, terlihat kerumunan warga yang hiruk pikuk. Mereka bersorak-sorai menyemangati arena panjat pinang. Tak peduli badan dan pakaian penuh kotor dengan oli.


Wajah sudah terlihat coreng moreng, bagaikan prajurit turun berperang ke medan tempur. Semangat tetap menggelora. Mereka kompak bahu membahu, menjalin kerjasama untuk meraih deretan hadiah besar maupun kecil yang digantung, di atas tonggak batang pinang yang menjulai. Asyiik memang ...! 


Tidak jauh dari arena panjat pinang, terlihat anak-anak yang sedang menikmati lomba makan kerupuk. Sedangkan kedua tangan terikat dibelakang, agar tidak ada yang berlaku curang, ketika lomba. Semua terlihat menikmati adu tangkas kepiawaian.


Arena tarik tambang antara ibu-ibu rempong berpakaian olah raga, juga tidak kalah serunya dari pertandingan lain. Sorak sorai, teriakan satu dua ... tiga ... tarik...ayo...menang... Ini menjadi tambahan tenaga bagi ibu-ibu yang berjibaku dengan genggaman tali di tangan.


Mereka semua, tidak peduli ekspresi wajah yang mereka tampilkan ketika itu. Meringis, muka ditekuk, gigi digigit rapat, mulut monyong. Terpenting, berusaha mempertahankan diri agar tidak tertarik lawan dan kalah. 


Syukur-syukur, kalau menang sambil menunggu momen lawan yang lengah dan kehabisan tenaga. Kemenanganpun diraih euforia, kemenagan meledak dengan teriakan. Juga diiringi lompatan serta rangkulan. Ronaldopun kalah dengan selebrasi kemenangan golnya ketimbang ibu-ibu ini.


Lomba sepak bola antar bapak-bapak berkostum daster ibuk-ibuk, juga tidak kalah menariknya. Aksi konyol peserta ini, sambil berlari mengejar bola, rebutan bola, saling tarik baju daster, tertawa ha ha hi hi...dan teriakan gol sungguh membuat sakit perut, karena tertawa geli.


Fenomena demikian, merupakan potret wajah anak negeri NKRI harga mati yang ditampilkan saat peringatan HUT RI ke 78 secara serentak. 


Bila kita simak dengan seksama, di bulan Agustus setiap pertengahan bulan, identik dengan kegiatan karnaval/pawai, menghias kampung, sekolah, kantor, aktivitas perlombaan, pentas seni. Hingga pengibaran bendera merah putih pagi dan penurunan bendera sore.


Pada setiap tahun, dimana tempat diisi dengan kegiatan memeriahkan peringatan HUT RI. Yang berbeda, agaknya mungkin hanya jenis perlombaan saja. Lewat aksi karnaval, lomba dan pentas seni seakan-akan ingin mewariskan. Sekaligus, mengingatkan kembali, semangat perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan bangsa ini secara turun temurun dari kenerasi ke genarasi berikutnya. 


Ini adalah bentuk rasa nasionalis yang mengkristal ketika semangat perjuangan. Terutama perebutan kemenangan kemerdekaan, diejawantahkan dalam semangat perjuangan untuk meraih kemenangan dalam setiap lomba yang diadakan dalam rangkaiaan peringataan HUT RI. 


Semangat bahu-membahu, bekerjasama dalam mewujudkan tekat kemenagan itu, tergambar dalam lomba panjat pinang dan tarik tambang. Semangat untuk mengadakan aneka perlombaan, dan menghias kampung digambarkan dalam aksi panitia HUT RI dalam menggalang dana dari rumah ke rumah, di jalan-jalan dan di pasar-pasar. 


Menurut penelusuran terkait sejarah perayaan HUT RI ini, dalam majalah Pantja Raja, 1 September 1946 (Rukardi) menuturkan, peringatan pertama kemerdekaan dirayakan dengan meriah oleh segenap lapisan masyarakat Indonesia. Rumah-rumah penduduk dan perkantoran ditepi-tepi jalan besar, dihiasi janur kuning dan rupa-rupa bunga dedaunan untuk mempercantik kota.


Di Yogyakarta, juga digelar parade tentara dan laskar di Alun-alun Utara, serta resepsi di Istana Negara yang dihadiri upacara oleh Presiden Soekarno-Hatta, Sri Sultan Hamengkubuono IX, Panglima Besar Jenderal Soedirman dan 500 undangan.


Berdasarkan sejarah inilah, diadakan tradisi perayaan HUT RI dengan menghias kampung, jalan-jalan desa, kantor, sekolah. Umbul-umbul, bendera panjang merah putih di pasang. Bendera kecil merah putih bertebaran melalui retangan benang yang menambah semaraknya suasana.


Beraneka ragam perlombaan dan karnaval. Bahkan, pentas seni diadakan tiap tahun. Tidak peduli berapa biayanya, Yang penting, satu tekad peringatan HUT RI tetap terlaksana walau dengan sederhana.


Melalui islustrasi ini, penulis ingin mengetuk hati pembaca untuk berpartisipasi dalam menyumbang alakadarnya mengisi kotak-kotak donasi di berbagai tempat sebagai wujud rela berkorban demi negara dalam upaya perayaan HUT RI yang ke 78.

Merdeka...


Sumber Bacaan:

- Rukardi, Asal-Usul Perayaan HUT RI, majalah Pantja Raja, 1 September 1946.