Komitmen Guru Dengan Siswa Harus Diketahui Kepsek Dilandasi Moralitas Penuh Nilai-Nilai Kebajikan Holistik dan Universal -->

Iklan Atas

Komitmen Guru Dengan Siswa Harus Diketahui Kepsek Dilandasi Moralitas Penuh Nilai-Nilai Kebajikan Holistik dan Universal

Jumat, 18 Agustus 2023
Oleh ; Alfian Tarmizi, M.Pd
Kepala SDN 17 Ulakan Tapakis,
Padang Pariaman


Pada setiap awal tahun ajaran baru bergulir, dituntut satuan pendidikan membuat program kerja. Terutama sekali merancang Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) namanya kini. Membuat KOSP merupakan roh dan batang tubuh pada jenjang pendidikan, sejak dari PUD/TK, SD, SLTP dan hingga SLTA.


Pembuatan KOSP itu, katakanlah melalui semacam lokakarya pembuatan di tingkat Kecamatan maupun Sekolah. Kurikulumpun sudah divalidasi, dan ditanda tangani oleh pejabat Dinas. Itu pertanda sah untuk diberlakukan selama setahun ke depan. Arah dan haluan kemudi sekolahpun, sudah jelas. Tinggal pelaksanaannya oleh warga sekolah itu sendiri. 


Sebelum dilaksanakan, kurikulum ini, tentu disosialisasikan kepada warga sekolah, temasuk komite dan walimurid. Dalam hal ini, agar pelaksanaan kurikulum mendapat legitimasi dan dukungan dari berbagai pihak. Sehingga tercipta sinergi yang mumpuni, terkokohlah "harmonisasi" yang baik antara pihak orang tua, guru dan peserta didik dalam mewujudkan visi, misi serta tujuan sekolah. 


Ternyata, teori selalu berbeda dengan prakteknya. Ketika awal sekolah, pada masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) semua guru akan mempraktekkan budaya positif dengan membuat kontrak belaja di Kelas masing-masing. Katakanlah, semacam tata tertib. Kini, lebih dikenal dengan sebutan "kesepakatan kelas" namanya pada era Kurikulum Merdeka.


Pada setiap siswa, dimintaI ide dan masukannya terhadap kesepakatan belajar itu. Apa saja yang diperlukan, supaya proses pembelajaran berjalan dengan baik, aman, nyaman. Dan, tujuan pembelajarapun tercapai sebagaimana telah dirancang dalam Modul Ajar oleh Guru Kelas atau Guru bidang Study. 


Ketika masing-masing siswa mengemukakan ide, dan kemudian dirangkum dalam suatu keputusan yang disepakati bersama, maka konsekwensipun harus dimunculkan. Bila kesepakatan ini dilanggar, maka akan ada punishment (hukuman) untuk memberikan efek jera, bagi pelaku pelanggaran pada peserta didik di Kelas masing-masing tersebut.


Sebab, sekarang ini kita berada di era kurikulum merdeka, maka kebebasan berpendapat diberikan kepada siswa untuk menentukan pilihan hukuman yang akan mereka jalani, bila mereka melanggar kesepakatan tersebut. 


Terjadilah diskusi hangat diantara mereka, tentang jenis hukuman yang akan mereka jalani nanti, selama proses pembelajaran. Hal itu, bila ada pelanggaran, maka diterapkan sanksi sebagai konsekwensinya sebagai contoh :


(1) Terlambat masuk kelas minta maaf di depan kelas dengan alasan yang logis, (2) Siapa yang buang sampah bertanggung jawab untuk memungut kembali dengan membuang di tong sampah.


(3) Tiga kali melanggar buang sampah, harus berdiri tegak itik di depan kelas agak setengah jam, atau memungut dengan mulut sampah itu. (4) Tidak buat Pe eR, akan dibuat Pe eR sebanyak 3 x lipat, (5) Tidak piket dengan hukuman piket seminggu.


(6) Yang membuly teman dihadapkan ke guru piket, (7) Tiga kali membuly teman, dibawa kehadapan Kepsek, (8) Empat kali membuly, panggil orang tua, dan (9) Meribut saat belajar, masuk buku kasus, dsb.


Setelah kesepakatan kelas dan jenis hukuman ditentukan, maka akan dipajang di dinding kelas agar bisa dibaca dan dipahami. 


Tentu, dengan adanya kesepakatan ini, maka siswa diharapkan dapat memahami dan mematuhi hasil kesepakatan yang mereka bidani bersama. Kesepakatan ini, akan menjadi sebuah keyakinan kelas dengan segala konsekwensi, bila ada yang melanggar.


Pembaca yang budiman...


Mari kita tela'ah tentang proses yang telah dilalui guru bersama murid atau siswa dalam membuat kesepakatan belajar yang dijadikan sebuah keyakinan bersama. 


Prosesnya sudah bagus. Demokrasinya berjalan dengan baik. Arah dan tujuannya pun jelas, demi kebaikan bersama. Namun, karena dalam pelaksanaan hukum itu dipicu oleh nila setitik, maka rusak susu sebelanga. 


Kenapa demikian ...? Ending dari kesepakatan dan aturan di kelas tersebut yang juga sebagai hak otonom Guru Kelas. Tetapi, harus diketahui oleh atasan langsung sebagai pimpinan di sekolah. Karena, apapun yang dilakukan oleh warga sekolah sebagai bentuk kebijakan, maka harus diketahui Kepala Sekolah.


Jangan sampai ada pula ungkapan dari seorang Kepala Sekolah, "yo ndak tau ambo doh, nan dibuek Guru Kalaih ntun". Ini cuci tangan namanya. Jadi, maka diragukan kemampuan manajerial dia sebagai seorang Kepsek.


Nah, alangkah baiknya Kepala Sekolah yang akan melegitimasi, melegalkan peraturan Kelas tersebut harus mengetahuinya. Sehingga pemberlakuannya telah tertera dengan dibubuhi tanda tangan Kepala Sekolah tentang kesepakatan dan aturan kelas tersebut. 


Sebelum menanda tangani, tentunya Kepala Sekolah terlebih dahulu membaca kesepakatan kelas berikut sanksi bagi yang melanggar. 


Pembaca yang kritis...


Ketika kita membaca poin ketiga dari sanksi yang tertulis, ada relung yang peka di sudut hati kita. Kata-kata “bagi yang melanggar buang sampah tiga kali, harus memungut dengan mulut”. Ini terasa tidak enak untuk dibaca, apalagi untuk dilakukan. Andai kata ini terjadi, maka akan merendahkan martabat kita sebagai manusia.  


Bila ini kejadian di lapangan, akan menuai pro dan kontra bagi yang mengetahuinya. Sekolah akan dituding. Telunjuk orang akan menuding hidung guru dan kepala sekolah. Martabat dan kehormatan guru tercoreng. 


Tentu, berita ini akan digoreng orang, Karena, telah merusak citra dunia pendidikan pada suatu tempat. Banyak pihak yang akan terlibat dengan persoalan kesalahan kecil, lantaran kesalahan prosedur ini. 


Melalui tulisan ini, penulis ingin mengingatkan, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemimpin baik sebagai pemimpin pembelajaran maupun pemimpin di sekolah, maka haruslah dilandasi dengan moralitas dan etika yang mengandung nilai-nilai kebajikan holistik, universal dan menyeluruh. Tidak mengandung pertentangan atau pertenteng. Apalagi sampai menciderai nilai kemanusiawian. 


Sebagai pemimpin pembelajaran, guru harus mengedepankan rasa welas asih, keikhlasan dalam mendidik, menganggap anak didik seperti anak kandung sendiri.


Sehingga, apa yang keluar dari mulut kita, menjadi kebajikan bagi semua siswa. Tindakan yang kita perbuat, menjadi contoh tauladan bagi murid atau siswa. Disinilah, letak kompetesi sosial emosional seorang guru dalam mengambil keputusan yang berpihak pada murid.


Selaku pimpinan, haruslah memandang areal yang dipimpinnya secara mikro dan makro. Jangan setengah-setengah. Totalitas dan loyalitas yang tinggi terhadap pekerjaan. Peka terhadap lingkungan. Mengetahui secara detil. 


Sehingga sehelai daun yang jatuh dari pohon pelindung di sekolahpun, harus diketahuinya. Sehingga ketahanan sekolah dapat tercipta dengan baik. 


Semoga ilustrasi ini bermanfaat bagi kita semua. Memimpin sekolah bukan hanya sekedar mengelola uang dan barang, tapi juga mengelola manusia-manusia yang beragam dan unik. 



Sumber Bacaan:

- A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Grafindo, 2011.

- N A, Wiyani, Bina Karakter Anak Mandiri, Yogyakarta:Ar-Ruzz Media, 2013.

- Kompri, Motivasi Pembelajaran Perspektif Guru dan Siswa, Bandung: Rosdakarya, 2016.