![]() |
Oleh : Alfian Tarmizi, S.Ag,S.Pd.i,M.Pd Ketua Komunitas Belajar Ulakan Tapakis Padang Pariaman |
"Ajarilah siswamu sesuai zaman mereka, jangan ajari siswamu seperti zamanmu dulu" - Altary.
Nasaehat ini sangat menggelitik, menyentuh relung hati kita yang peka terhadap kritikan. Kalau kita renungkan dan ditelusuri pengalaman mengajar dan mendidik, apalagi kita sebagai seorang yang berprofesi sebagai guru atau orang tua, maka kita akan jujur mengatakan hal ini berlaku pada diri saya.
Saya pernah melakukan kesalahan mengajari siswa sebagaimana cara guru saya mengajari saya dulu. Rasanya cara-cara itu ampuh menurut saya. Efektif dan efisien, tidak makan waktu dan tenaga. Kalau ada yang bersalah, langsung hukum berikan sanksi. Efek jeranya akan terlihat. Siswa yang lainpun akan paham kalau ini dan itu tidak boleh dilakukan.
Tapi anehnya, setiap hari ada saja yang melanggar. Seolah peraturan yang tertera di dinding, bukan untuk dipatuhi tapi untuk di langgar. Situasi ini membuat saya dan teman-teman menjadi guru yang sensitif, mudah marah dan suka memberi label pada siswa.
Begitu juga dalam hal mengajar. Saya menyamaratakan semua siswa di kelas. Saya pikir mereka masuk kelas dalam keadaan kosong ilmu dengan berharap mendapatkan ilmu dan pengajaran dari saya selaku guru.
Dengan exitednya saya mengajar dibarengi penuh semangat. Saya bangga melihat telinga murid saya berdiri, saya senang melihat mata murid saya fokus kesatu titik yaitu gurunya. Pembelajaranpun berjalan dengan mulus. Namun, saya kecewa melihat hasil ulangan anak saya yang rata-rata di bawah KKM. Hanya 5-8 orang yang memuaskan. Akhirnya saya sibuk dengan remedi. Pekerjaanpun makin bertambah. Rasa kecewa yang menumpuk menggumpal menjadi satu. Frustasi...
Setelah saya mengikuti Program Guru Penggerak yang merupakan seri AKM yang diluncurkan mas Menteri Nadiem Makarim, saya mulai menemukan kesalahan-kesalahan kecil dan besar yang pernah saya lakukan selama ini dalam mengajar. Kesalahan ini bukan disengaja, tapi dikarenakan ketidak tahuan saya selama ini. Berarti sudah 18 tahun saya mengajar dengan metode dan pendekatan yang keliru. Hilang sudah rasa bangga dalam diri saya sebagai cikgu.
Pembaca yang budiman...
Melalui tulisan refleksi ini, saya mengajak kita semua para guru dan orang tua untuk menyadari kekeliruan kita selama ini. Mari kita luruskan yang bengkok selama ini. Ya, sudah belasan bahkan puluhan tahun kita biarkan karena ketidak tahuan kita selama ini.
Pertama, kita mulai dari Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), yaitu bagaiman mengontrol emosi dan bersikap positif dalam aspek sosial dengan murid dan teman sejawat serta lingkungan sekitar.
Sebagai guru, kita harus mengenali diri kita terlebih dahulu. Bagaimana emosi diri, kapan emosi diri bereaksi, hindari hal-hal yang bisa memancing emosi, bagaimana cara meredam emosi, selalu berpikir positif dan tingkatkan komuniakasi yang baik dengan siapapun.
Kedua, Pembelajaraan Berdifferensiasi (PB), yaitu pembelajaran yang dimulai dengan memetakan kompetensi, gaya dan profil belajar siswa yang berbeda dalam satu kelas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kesiapan belajar siswa.
Dengan demikian, guru dapat menyediakan materi, media, metode dan tagihan produk yang beragam sesuai perbedaan siswa tersebut. Sehingga semua kebutuhan siswa terpenuhi, dan mereka merasa sudah belajar. Pada akhirnya tujuan pembelajaranpun tercapai dengan baik.
Pembelajaran berdifferensiasi ini, merupakan ruh dari pembelajaran pada kurikulum merdeka. Karena Kurmer merupakan perbaikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sehingga pembelajaran yang disuguhkan bersifat membujuk, mengajak siswa untuk menyenangi dan mencintai pembelajaran pasca efek pandemi.
Ketiga, Langkah-langkah Pembelajaran Berdifferensiasi (PB).Kita harus menyadari perbedaan yanag ada pada diri siswa di kelas merupakan aset pemersatu di kelas. Guru harus menyadari dan memahami kesiapan belajar peserta didik yang berbeda.
Misal saja si A, sukanya belajar dengan mendengarkan penjelasan guru. Si B sukanya belajar dengan menonton video, Si C sukanya belajar sambil mendengarkan penjelasn guru diiringi ada tayangan-tayangan gambar yang mewakili pemahamannya terhadap materi, Si D sukanya belajar sambil bekerja, sementara si E senangnya belajar disamping mendengar ceramah guru, juga dilakukan tanya jawab, sehingga ia bertambah paham. (Disinilah letak differensiasinya kesiapan belajar).
Setelah guru memetakan kesiapan belajar siswa berdasarkan gaya belajar yang berbeda tersebut, maka guru mencoba menyederhanakan materi dengan berbagai bentuk media, sehingga bisa mewadahi keberagaman di kelas tadi. Bisa jadi media yang digunakan berupa tayangan video, PPT, Media Gambar, Kertas Tempel, Cerita bergambar, Potongan Cerita/Naskah/Teks, Puisi, Dialog dan sebagainya. (Differensiasi Konten/Materi)
Berdasarkan differensiasi/perbedaan kesiapan belajar dan konten/materi, maka guru mebuat skenario melalui modul ajar/RPP yang berdifferensiasi dengan mengkolaborasaikan dan mengkombinasikan beragam model pembelajaran. Sehingga siswa yang berbeda tadi merasa sudah terpenuhi kebutuhan mereka di kelas. (Differensiasi Proses).
Dalam melakukan proses PBM guru memberikan ice breaking (penyegaran) pada siswa agar membuat siswa kembali fokus pada pembelajaran. (Differensiasi Proses).
Ketika guru akan melakukan evaluasi meminta tagihan tugas siswa dengan berbagai tagihan pruduk yang berbeda. Bisa jadi berbentuk LKPD, LKS, Essai, Menjodohkan, Pilihan Ganda, Puzzel, Puisi dan sebagainya sesuai minat siswa. (Differensiasi Produk).
Terakhir guru melakukan refleksi. Refleksi bisa dari siswa dengan meberikan pertanyaan-pertanyaan ringan terkait materi. Kemudian siswa memberikan umpan balik melalui jawaban.
Melalui enam langkah pelaksanaan berdiffrensiasi ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran sehingga kompetensi guru dan siswa meningkat dan tujuan pembelajaran akan tercapai dengan baik.
Pembaca yang mulia...
Merubah main set dalam pendidikan dan pengajaran tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh proses untuk mencapaiannya. Dalam berproses itu ada jatuh bangunnya, salah dan kelirunya, capek dan lelahnya. Namun demi menjadi pemimpin pembelajaran yang berpihak pada murid, hal ini harus kita coba lakukan, biasakan, tingkatkan dan budayakan.
Sehingga kelak, kita akan bangga di hari tua, melihat dan mendengar kesuksesan murid kita jadi guru, polisi, pegawai kantoraan, camat, wali nagari dan berbagai profesi lainnya.
Selamat mencoba ... !