![]() |
Harga gas subsidi |
Jakarta - Beberapa pelaku industri meminta pemerintah untuk merevaluasi kebijakan subsidi gas murah. Sejak dimulainya Program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) pada 1 April 2020, pemerintah telah mengalokasikan lebih dari Rp29,39 triliun untuk subsidi tersebut.
Jumlah subsidi yang signifikan ini disebabkan oleh penetapan HGBT pada nilai USD 6 per MMBTU (juta British thermal unit). Dana ini berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan digunakan untuk membayar hak kontraktor migas.
Kebijakan HGBT menetapkan bahwa pemerintah harus menanggung selisih harga dengan mengurangi keuntungan penjualan gas negara, sehingga tidak memberatkan kontraktor.
"Setiap program subsidi harus dievaluasi secara berkala. Terutama jika kontribusi dari penerima gas murah tidak memenuhi target yang diharapkan, lebih baik menghentikan pemberian insentif harga gas murah daripada merugikan keuangan negara," ungkap Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, pada Rabu (16/8/2023).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pendapatan pajak yang dihasilkan dari industri yang mendapat manfaat dari HGBT hanya mencapai Rp15,3 triliun. Sementara itu, sejumlah perusahaan penerima subsidi gas ini terus meraih keuntungan besar.
Tauhid mengungkapkan bahwa ada beberapa parameter untuk mengukur kontribusi perusahaan yang mendapat insentif harga gas murah. Parameter tersebut meliputi dampak pada perekonomian nasional, kontribusi pada penerimaan negara, dan penciptaan lapangan kerja.
Dari perspektif industri, parameter yang diperhitungkan mencakup peningkatan produksi, daya saing yang lebih tinggi, penciptaan nilai tambah, serta kontribusi dalam mengurangi impor.
"Jika tujuh sektor industri yang menerima insentif ternyata tidak memenuhi parameter tersebut, evaluasi harus dilakukan. Kalau kebijakan ini tidak berhasil, maka harus direvisi. Jika perusahaan tidak mampu memanfaatkan insentif ini, lebih baik harga gas untuk perusahaan tersebut dikembalikan ke tingkat pasar," tegas Tauhid.
Menurut Tauhid, kebijakan HGBT seharusnya menjadi langkah sementara untuk memperkuat daya saing industri. Jika insentif diberikan dalam jangka panjang, ada risiko bahwa industri yang menerimanya tidak akan mampu bersaing di pasar. Kebijakan tersebut dapat membuat perusahaan bergantung pada insentif dan mengurangi motivasi untuk berinovasi.
Baru-baru ini, Kementerian Perindustrian mencatat bahwa produk keramik impor dari Cina masih banyak beredar di pasar Indonesia. Banjir produk ini telah menyebabkan utilisasi industri keramik Indonesia turun, yaitu 75% pada kuartal I 2023 dibandingkan dengan 78% pada kuartal I 2022.
"Kami melihat bahwa ada banyak produk keramik impor yang masuk ke pasar," ungkap Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, di kantor Kemenperin.
Tauhid menambahkan bahwa dalam jangka panjang, perlu ada penyesuaian berkala agar perusahaan dapat bersaing dan lebih adaptif terhadap fluktuasi harga gas sesuai dengan mekanisme pasar.
"Daya saing industri tidak hanya ditentukan oleh harga gas. Ada banyak faktor lain yang mempengaruhi daya saing, seperti efisiensi produksi, permintaan pasar, serta kemampuan dan teknologi," tambahnya.(des)