![]() |
ilustrasi |
Jakarta - Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) mengungkapkan rencana pembangunan Light Rail Transit (LRT) di Bali direncanakan akan dilakukan melalui jalur bawah tanah. Keputusan ini didasari oleh sejumlah masalah, seperti pembatasan ketinggian bangunan yang tidak boleh melebihi pohon kelapa dan keberadaan banyak pura di wilayah Bali.
Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas, Ervan Maksum, menjelaskan, "Di Bali, terdapat masalah besar terkait ketinggian bangunan yang tidak boleh melebihi pohon kelapa, dan juga banyaknya pura di wilayah tersebut." Hal ini diungkapkannya dalam acara Diskusi Green Finance Pusat Studi Ekonomi dan Keuangan Berkelanjutan Universitas Gadjah Mada (UGM), pada Senin (25/9/2023).
Ervan menambahkan, "Satu-satunya solusi adalah membangun jalur bawah tanah." Dia juga menjelaskan pentingnya pembangunan moda transportasi kereta api di Bali. Pasalnya, Bali memiliki beberapa kantong wisata, seperti wilayah Kuta, Seminyak, Sanur, dan Jimbaran.
Namun, salah satu permasalahan yang dihadapi adalah akses ke Bandara Internasional Ngurah Rai yang sering memakan waktu lama, terutama pada jam-jam sibuk. "Waktu tempuh perjalanan menuju Bandara bisa mencapai 2 jam saat jam sibuk. Salah satu solusinya adalah menggunakan kereta untuk mempercepat akses ke kantong-kantong tersebut," ujar Ervan. "Saat ini, ada sekitar 58.000 penumpang yang masuk ke Bandara Ngurah Rai setiap harinya, dan kami merencanakan LRT untuk memenuhi kebutuhan transportasi di Bali," tambahnya.
Selain itu, Ervan juga menyoroti tantangan terkait biaya dalam pembangunan LRT Bali. Menurutnya, pembangunan LRT melalui jalur bawah tanah akan membutuhkan biaya lebih dari 3 kali lipat dibandingkan dengan jalur di atas tanah. "Misalnya, dari Bandara Ngurah Rai ke Kuta saja, biayanya mencapai Rp5 triliun. Hal ini karena pembangunan jalur bawah tanah memiliki biaya yang lebih tinggi, meskipun jarak yang ditempuh hanya sekitar 4,9 kilometer," ungkap Ervan.(dj)