Bawaslu Sawahlunto Satukan Persepsi Pengawasan, Dampak Positif-Negatif Pemilu Serentak 2024 -->

Iklan Atas

Bawaslu Sawahlunto Satukan Persepsi Pengawasan, Dampak Positif-Negatif Pemilu Serentak 2024

Selasa, 14 November 2023
Khairul Anwar saat memaparkan materi diskusi publik.


Sawahlunto, fajarsumbar.com - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Sawahlunto laksanakan diskusi publik pengawasan pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD dan DPRD di Parai City Garden Hotel, Senin (13/11/2023).


Tujuan kegiatan ini, yang pertama untuk menyatukan persepsi dalam hal pengawasan pencalonan presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD dan DPRD di Kota Sawahlunto. 


Kedua, menghimpun dan menampung masukan dan saran untuk kegiatan pengawasan yang lebih baik di tahapan selanjutnya. Adapun sasaran kegiatan diharapkan kepada peserta pemilu maupun penyelenggara pemilu, masyarakat dan selaku penggiat pemilu agar semuanya tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran pemilu dan bersama-sama dapat melakukan pengawasan dan memahami segala bentuk pengawasan, bentuk peraturan pengawasan kepemiluan, sehingga pemilu tahun 2024 berjalan dengan baik, aman dan lancar. 


Hadir dalam kegiatan, Bawaslu Kota Sawahlunto beserta jajarannya, Rika Arnelia (Komisioner KPU Sawahlunto Divisi Teknis Penyelenggaraan), Panwascam se-Kota Sawahlunto, insan pers dan radio Sawahlunto FM. 


Ketua Bawaslu Kota Sawahlunto, Junaidi Hartoni (Koordinator Divisi SDM, Organisasi, Diklat dan Data Informasi) menyampaikan dalam sambutannya, bahwa pihaknya sangat membutuhkan insan pers untuk menginformasikan kepada publik dan untuk menyampaikan citra-citra positif dalam kerja Bawaslu. 


Peran serta media publikasi untuk masyarakat semata-mata dilaksanakan untuk mencapai pemilu yang berintegritas. "Bawaslu Sawahlunto punya media center untuk diskusi lanjutan di situ, kita juga punya Pojok Pengawasan, untuk lebih nyatanya kerja Bawaslu ini, kita butuh dari semua pihak untuk mengkomunikasikan," ucapnya berharap. 


Praktisi Hukum sekaligus Dosen Hukum Tata Negara, Khairul Anwar mengatakan bahwa, Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin secara langsung seperti DPR, DPD, DPRD, presiden, gubernur, walikota dan bupati. 


"Pemilu adalah suatu prosedur dimana warga negara akan memilih dan memberi wewenang kepada yang terpilih untuk menjadi pemimpin dan wakil rakyat. Proses pengubahan perolehan suara menjadi kursi atau pemimpin. Sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia dan adil dalam negara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945," ujarnya. 


Dijelaskannya, keunggulan hipotetik pemilu serentak adalah terciptanya pemerintahan yang kongruen. Terciptanya koalisi berbasis kebijakan dan mendorong lahirnya parpol yang lebih demokratis serta meminimalisir potensi konflik antar partai. 


"Dampak positif pemilu serentak ialah kedaulatan di tangan rakyat terwujud secara nyata, aspirasi rakyat bisa disampaikan, melahirkan pemimpin sesuai dengan keinginan rakyat dan pemimpin terpilih lahir dari anak bangsa terbaik serta pemilu dapat dijadikan sarana pesta rakyat untuk berdemokrasi," ulasnya kemudian. 


Sedangkan, dampak negatif dari pemilu serentak itu membengkaknya biaya pelaksanaan pemilu yang sangat tinggi, membutuhkan sumber daya yang sangat besar, lalu berpotensi memunculkan kendala teknis dan potensi 'money politic' serta potensi fanatisme politik yang berpotensi memecah belah masyarakat hingga kesulitan menentukan sikap politik karena banyaknya pilihan. 


"Faktor yang mempengaruhi peristiwa money politic antara lain; ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Dengan sistem pemberian seperti; sistem ijon, melalui timses, melalui orang terdekat, pemberian langsung oleh kandidat, sistem cek dan lain sebagainya," ungkap Khairul Anwar yang biasa disapa Tan Rajo ini. 


Tan Rajo mengulas juga terkait pemilu curang dan ancaman terhadap negara diantara; bentrok antar masa pendukung, chaos dan kelumpuhan ekonomi, rawan terjadi tindakan kudeta dan berpotensi ditunggangi dan disusupi pihak asing. 


Penyebab kecurangan pemilu, sambung Tan Rajo, relasi kuat patronase antara penyelenggara, peserta dan pemilih. Selanjutnya sistem pemilu yang memberi ruang para peserta pemilu melakukan tindakan kecurangan dan lemahnya sistem pendukung pemilu. 


"Fenomena kehidupan politik di Indonesia; semakin banyak penanganan pelanggaran pemilu akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses pemilu dan hasil pemilu. Elit politik sebagai penggerak utama dalam pembangunan kehidupan bangsa, justru sebagian diantaranya melakukan perbuatan yang menimbulkan kerusakan sosial-politik," urainya. 


Disebutkannya bahwa ada tiga tipe masyarakat terkait pemilu berdasarkan hasil penelitiannya di lapangan. 1. Tidak sadar politik dan tak paham pemilu, masyarakat cenderung mencari untung sementara dari kegiatan pemilu seperti jual suara. 2. Sadar politik tapi tidak paham pemilu, masyarakat ini punya semangat untuk mewujudkan pemilu demokratis, tapi tindakannya sering kontraproduktif. 3. Sadar politik dan paham pemilu, masyarakat ini giat melakukan upaya-upaya perbaikan pemilu, apatis dan cenderung tidak menggunakan gak suara. 


"Dari jaminan hak memilih, terdapat buruknya kualitas data kependudukan yang disediakan pemerintah sebagai bahan penyusunan daftar pemilih. Lemahnya kinerja/manajemen penyelenggara pemilu dan petugas pemutakhiran dalam melakukan pemutakhiran daftar pemilih. Ego-sektoral antar lembaga terutama antara KPU dan Kemendagri. Rendahnya partisipasinya masyarakat. Dampaknya, orang yang tidak berhak memilih ikut memberikan suara atau orang yang berhak memilih tidak dapat memberikan suara dalam pemilu 2024," sambungnya. 


Sedangkan terkait teknologi; 1. Silon belum siap untuk digunakan, belum lolos uji kelayakan berpengaruh pada ketepatan waktu, sehingga KPU terpaksa melakukan diskresi. 2. Kemajuan teknologi informasi komunikasi belum di utilisasi secara penuh untuk mempermudah pelaksanaan tugas dan fungsi komisi dalam pemilihan kepala daerah. 3. Belum ada Standar Operasional Prosedur (SOP) serta peraturan yang detail dan mudah dipahami sampai ke tingkat bawah dan persoalan sumber daya manusia. 


4. Proses internalisasi peraturan dan budaya kerja organisasi masih lemah. 5. Jumlah dan komposisi pegawai belum sesuai dengan tugas, fungsi dan beban kerjanya. 6. Kemampuan KPU kabupaten/kota menyusun Standar Pelayanan Publik (SPP) untuk layanan pemilihan serentak yang diberikan. 7. Belum optimalnya kapasitas SDM dalam mengelola logistik pemilihan. 


"Dalam penelitian saat kampanye; penyalahgunaan wewenang, program dan kegiatan oleh petahana yang penanganannya tidak terjangkau oleh hukum pemilu. Jika petahana merupakan calon, terdapat mekanisme hukum untuk memulihkan hak pilih yang terlanggar. Namun, jika petahana bukan calon, belum ada mekanisme pemulihan hak pilih yang terlanggar," bebernya.


Masih dalam kampanye, kata Tan Rajo, netralitas ASN dan kepala desa - terutama kampanye menggunakan media sosial dan pelanggaran Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM) yang tidak memenuhi syarat kualitatif yang ditentukan dalam regulasi Bawaslu tidak tertangani, sehingga mengganggu integritas penyelenggaraan pemilu. 


"Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri, mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya kata Charles de Gaulle," pungkasnya. (ton)