Padang, fajarsumbar.com-Politik trah atau politik dinasti kini sedang menjadi isu hangat di tingkat nasional. Terutama, terkait dengan gelaran Pilpres 2024 mendatang. Salah satu calon disinyalir sedang memainkan politik dinasti. Isu ini heboh karena bermain dalam tataran politik tingkat tinggi. Padahal, dalam politik akar rumput, trah dan dinasti adalah sebuah fenomena yang mewabah.
Di awal-awal reformasi yang diteruskan dengan otonomi daerah, muncul stigma tentang raja-raja. Kepala daerah, tak hanya di level gubernur, bupati hingga walikota menjelma menjadi raja-raja kecil. Tak hanya di eksekutif, raja kecil juga muncul di legislatif. Bahkan, pada tataran kekuasaan paling rendang, seperti kepala desa atau wali nagari kemudian menjelma menjadi raja-raja kecil. Kekuasaan di negeri ini seolah-olah menjadi warisan turun-temurun saja.
Fenomena politik trah, dinasti, dan raja-raja kecil juga menjamur di Sumatera Barat. Walaupun ranah ini dikenal sebagai negeri yang egaliter dan demokratis, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, tapi yang namanya dinasti itu tetap saja ada. Walau seorang datuk itu hanya ditinggikan se ranting dan didahulukan selangkah, tapi saat ini bukan hanya datuk saja yang menjadi raja kecil. Ketua DPRD saja bisa jadi raja kecil. Pemilik lahan menjadi raja kecil. Cukong menjadi raja kecil. Orang dekat penguasa lokal saja menjadi raja kecil.
Politik trah sudah menjadi hal yang lumrah di Ranah Minang. Beberapa dekade tarakhir, muncul tokoh-tokoh muda di kancah kekuasaan lokal. Kepala daerah ada yang berumur di bawah 30-an. Anggota DPR-RI dari Sumbar ada yang sangat muda. Demikian pun, DPRD kini dipucuki oleh anak-anak muda. Tapi sayang, tokoh-tokoh muda itu rata-rata adalah produk trah dan dinasti.
Ada bupati di Sumbar yang mewarisi kekuasaan bapaknya. Ada anggota dewan yang mewarisi kursi bapaknya. Tapi, bukan itu saja pengaruh trah dan dinastinya. Ada tokoh muda yang tak mewarisi kekuasaan bapaknya di politik. Namun, kiprahnya di politik tak terlepas dari pengaruh sang bapak. Bisa pengaruh secara sosial, misalnya bapaknya adalah seorang sultan atau raja, bisa juga pengaruh ekonomi karena keluarganya yang kaya raya. Dan si tokoh muda menggapai puncak karir politik karena pengaruh keluarganya itu.
Apakah penguasa muda buah politik trah ini mewarisi kepemimpinan yang bagus? Kalau dinilai secara objektif, kiprah mereka biasa-biasa saja. Hal itu bila dibandingkan dengan pemimpin-pemimpin di masa lalu. Lebih lagi, saat ini susah menilai kepemimpinan secara objektif, karena kepemimpinan hari ini banyak dipoles oleh pencitraan dengan terbukanya informasi dan media.
Tapi, bukan berarti sertamerta memberi cap negatif pada kepemimpinan muda. Di ranah eksekutif, legislatif dan sosial, sebenarnya banyak anak muda yang menjadi pemimpin hebat tanpa sokongan trah dan dinasti. Anak-anak muda ini ada di eksekutif, di legislatif, sebagai wali nagari dan sebagainya. Anak-anak muda ini menjadi tokoh bukan karena kejayaan keluarganya, bukan pula karena kekayaan orang tuanya, bukan juga karena pengaruh trahnya.
Politisi muda yang satu ini sedang menarik perhatian. Dia adalah politisi PKS, Rahmat Saleh. Pria 40 tahun ini menjadi anggota DPRD Sumbar selama dua periode. Pada Pemilu 2024 mendatang, PKS mendorongnya menuju ke Senayan untuk menjadi anggota DPR-RI.
Kiprah Rahmat Saleh benar-benar bermula dari akar rumput. Terjun ke dunia politik bermodal bukan siapa-siapa. Bermodal pengalaman jadi Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa FMIPA Universitas Andalas, Rahmat Saleh terjun ke dunia politik dengan menjadi tim sukses Cawako Padang, Mahyeldi dalam Pilkada dua putaran tahun 2013 dan 2014. Pada pemilu 2014, Rahmat Saleh maju sebagai calon anggota DPRD Sumatera Barat dari daerah pemilihan Kota Padang. Ia terpilih menjadi anggota DPRD dengan perolehan 8.188 suara. Ia menjadi anggota DPRD termuda dari dapilnya.
Tak seperti politisi muda kebanyakan yang mendapatkan karpet merah dalam kiprah politiknya, Rahmat Saleh berjuang dari nol. Tidak pula mengandalkan koneksi keluarga. Pasalnya, orang tuanya bukanlah orang berada. Sang ayah hanyalah seorang buruh serabutan. Sehingga, untuk mendukung pendidikannya, terutama di tingkat SMP dan SMA, Rahmat Saleh sekolah sambil bekerja. Bermacam pekerjaan dilakoni, mulai dari berjualan es hingga jadi buruh cuci mobil.
Dalam kiprah politiknya di internal PKS, Rahmat Saleh sendiri bukanlah anak emas. Persis, ketika maju kembali sebagai caleg DPRD Sumbar tahun 2019, ia tidaklah mendapat nomor urut puncak. Kendati begitu, Rahmat Saleh kembali terpilih sebagai anggota DPRD Sumbar periode 2019-2024.
Karir politik Rahmat Saleh terus melejit berkat perjuangan dan prestasinya. Sekarang, ia menjadi Sekretaris Umum DPW PKS Sumbar. Posisi yang sangat strategis di tubuh partai politik. Pada Pemilu 2024 mendatang, Rahmat Saleh maju sebagai calon anggota DPR-RI dari Dapil Sumbar 1. Sebagai caleg, ia mendapat nomor urut puncak. Ini membuktikan betapa kuatnya kepemimpinan politisi muda ini.
Sebagai Sekretaris Umum DPW PKS Sumbar, menjadi caleg DPR-RI nomor puncak, Rahmat Saleh boleh dikatakan menjadi representasi dari suara pemilih PKS di Dapil Sumbar 1. Bisa dikatakan, ia adalah prioritas untuk mengisi keterwakilan PKS dari Sumbar 1 untuk DPR-RI. Pemilih PKS di Sumbar 1 berarti juga pemilih Rahmat Saleh. Sang politisi muda mendapat tugas tambahan, yaitu menambah kursi PKS di DPR-RI dari Dapil Sumbar 1.
Dengan kiprahnya yang fenomenal di usia muda, Rahmat Saleh adalah sosok unik di PKS. Ia merepresentasikan zamannya, menjadi inspirasi generasi milenial hari ini. Sosok ini menjadi tak biasa. Sebab, Rahmat Saleh bukanlah putra mahkota. Bisa jadi, ia adalah antitesa dari politik trah, politik dinasti yang menjamur akhir-akhir ini.(a.r.rizal)