![]() |
Fakta Industri Tekstil. |
Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengomentari pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang melibatkan belasan ribu pekerja tekstil di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, juga merespons pernyataan dari Menkeu Sri Mulyani tersebut.
Namun, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang justru mengkritik pernyataan Sri Mulyani. Menurutnya, pernyataan dan kebijakan Sri Mulyani terkait industri tekstil tidak konsisten.
Beberapa fakta menarik terkait industri tekstil pada Minggu (23/6/2024). Berikut ini fakta-faktanya:
Pernyataan Sri Mulyani
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa PHK massal belasan ribu pekerja tekstil di Indonesia disebabkan oleh dumping produk impor. Dumping, yaitu penjualan barang ekspor yang lebih murah dibandingkan di dalam negeri, terjadi karena kapasitas produk tekstil global yang berlebih sementara permintaan menurun.
Kritik dari Menteri Perindustrian
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menilai Sri Mulyani tidak konsisten dalam pernyataan dan kebijakan yang dikeluarkan terkait industri tekstil. Meski setuju dengan pernyataan Sri Mulyani, Agus menilai ada inkonsistensi karena Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) Kain yang berakhir pada 8 November 2022 belum diperpanjang.
"Di satu sisi, menyalahkan praktik dumping, namun di sisi lain, lambat atau tidak membuat kebijakan untuk pengamanan pasar tekstil dalam negeri," kata Menperin.
Kegagalan Kontrol Bea Cukai
Ketua APSyFI, Redma Gita Wirawasta, menyanggah pernyataan Sri Mulyani dan menilai ada kegagalan dalam mengontrol Direktorat Jenderal Bea Cukai yang berada di bawah Kementerian Keuangan.
"Banyak oknum di Bea Cukai terlibat dalam modus impor borongan/kubikasi dengan wewenangnya menentukan impor jalur merah atau hijau di pelabuhan," jelas Redma.
Peningkatan Barang Impor Tidak Tercatat
Redma menyatakan bahwa kinerja buruk Bea Cukai menyebabkan peningkatan barang impor tidak tercatat dari China sejak tahun 2021 hingga 2023.
"Gap impor yang tidak tercatat dari China meningkat dari USD2,7 miliar di tahun 2021 menjadi USD2,9 miliar di tahun 2022 dan diperkirakan mencapai USD4 miliar di tahun 2023," ujar Redma.
Upaya Menyelamatkan Industri Tekstil
Menteri Agus menyampaikan bahwa Kementeriannya telah berupaya menyelamatkan industri tekstil nasional dari persaingan global dan domestik selama lima tahun terakhir. Produk tekstil Indonesia, seperti pakaian jadi dan alas kaki, diakui di pasar ekspor seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa.
Namun, ekspor menurun akibat masalah geopolitik global yang mempengaruhi daya beli konsumen di negara tujuan ekspor serta adanya pembatasan barang impor melalui kebijakan tarif dan non-tarif.
Untuk menjaga industri tekstil nasional di tengah penurunan ekspor, Kemenperin terus berupaya meningkatkan penyerapan produk tekstil di pasar domestik. Namun, daya saing industri tekstil nasional terganggu oleh impor produk sejenis, baik legal maupun ilegal.
"Selain itu, produksi tekstil global yang tidak terserap di negara tujuan ekspor menyebabkan oversupply, sehingga negara produsen melakukan dumping dan mengalihkan pasar ke negara-negara yang tidak memiliki proteksi pasar dalam negeri, termasuk Indonesia," jelas Menperin.(BY)