40 bank di China bangkrut dalam sepekan |
Jakarta — Sektor perbankan di China tengah dilanda krisis serius dengan 40 bank mengalami kebangkrutan dalam waktu satu minggu. Kejatuhan Bank Jiangxi memperburuk kondisi krisis di sektor ini.
Para pakar memperingatkan bahwa situasi ini bisa berdampak signifikan pada ekonomi global. Laporan dari China menyebutkan bahwa kegagalan salah satu bank memicu kepanikan di kantor pusat Bank Jiangxi setelah munculnya rumor kebangkrutan.
Bank ini sebelumnya telah mengumumkan bahwa laba mereka mungkin turun hingga 30% karena masalah pembayaran pinjaman dari nasabah, seperti yang diberitakan oleh Mekongnewsmm pada Rabu (14/8/2024).
Menurut Majalah The Economist, sekitar 3.800 bank di China berada dalam kondisi rawan. Bank-bank ini memiliki aset senilai 55 triliun yuan atau setara dengan Rp120.242.485 desiliun (kurs Rp2.186,14), yang mencakup 13% dari total aset perbankan di China.
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa banyak bank ini telah dikelola dengan buruk selama bertahun-tahun dan memiliki sejumlah besar pinjaman bermasalah. Banyak bank juga memberikan pinjaman kepada pengembang properti dan pemerintah daerah, sehingga membuat mereka rentan terhadap penurunan pasar real estate.
Penulis laporan ini juga menyoroti bahwa beberapa bank telah melaporkan bahwa pinjaman bermasalah mencapai hingga 40% dari portofolio mereka. Pengungkapan yang jarang terjadi ini menunjukkan betapa seriusnya masalah yang dihadapi. Kasus serupa pernah terjadi pada perusahaan pengembang properti besar di China, di mana masalah tersebut baru diakui setelah otoritas setempat mengakui dampaknya terhadap sektor ini.
The Economist juga mencatat bahwa strategi utama China dalam menangani bank-bank kecil yang bermasalah adalah dengan menggabungkannya. Dari 40 bank yang baru-baru ini tutup, 36 di antaranya berada di provinsi Liaoning dan telah diambil alih oleh Liaoning Rural Commercial Bank.
Pengamat pasar kripto, Sigma G, juga menyoroti masalah di sektor perbankan China. Dia mengidentifikasi penurunan tajam di pasar properti China sebagai pemicu utama krisis ini. Pengembang dan pemerintah daerah yang terbebani oleh utang tidak mampu membayar kembali pinjaman mereka, sehingga menyebabkan gejolak keuangan. Penurunan tajam nilai properti dan penghentian proyek konstruksi semakin menambah tekanan pada struktur ekonomi.
Penulis laporan ini juga mengungkapkan bahwa banyak pinjaman bermasalah disembunyikan melalui penggunaan perusahaan manajemen aset (AMCs), yang membantu bank tampak stabil di permukaan. Namun, regulator perbankan baru, Administrasi Pengaturan Keuangan Nasional (NAFR), mulai menindak praktik ini dengan menerapkan sanksi dan meningkatkan pengawasan.
Penulis memprediksi bahwa ekonomi China sedang memasuki fase pertumbuhan yang melambat dan tersembunyi. Sina_21st memperingatkan, "Era pertumbuhan yang didorong oleh kredit telah mencapai batasnya, dan dampaknya akan berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi China serta dampak negatif pada ekonomi global."
Perlambatan ekonomi China diperkirakan akan memperburuk masalah di sektor perbankan. Para ahli dari S&P, seperti yang disebutkan oleh The Economist, memperkirakan bahwa diperlukan hingga 10 tahun untuk memperbaiki sistem perbankan China. Namun, angka resmi mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan besarnya masalah yang sebenarnya.
Laporan dari Bank Rakyat China tahun 2023 menyatakan bahwa 3.655 bank, yang menguasai 98,28% dari total aset perbankan di China, berada dalam kondisi aman. Bank China juga menyebutkan bahwa risiko utama terdapat pada bank-bank kecil dan menengah di daerah pedesaan. Laporan ini juga mengindikasikan bahwa bank-bank besar mendapatkan peringkat baik, menunjukkan bahwa ekonomi secara keseluruhan masih stabil.
Apa yang menyebabkan masalah besar bagi bank-bank kecil ini? Banyak kota dan wilayah di China tenggelam dalam utang yang sangat besar. Tingkat utang yang tinggi menyebabkan perwakilan pemerintah daerah mengirim delegasi ke Beijing pada musim semi untuk mencari solusi dalam melunasi pinjaman mereka yang mencapai miliaran. Beban utang yang belum terselesaikan ini semakin menekan ekonomi regional, yang pada gilirannya dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi nasional.
Kota-kota di China terjerat utang, terutama akibat krisis properti dan pandemi. Dalam 10 tahun terakhir, banyak proyek pembangunan dibiayai dengan pinjaman. Proyek-proyek ini dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhan daerah, tetapi setelah krisis COVID-19, pemerintah daerah tidak lagi mampu untuk terus berinvestasi. Sementara itu, utang-utang tersebut masih harus dilunasi.
Goldman Sachs memperkirakan bahwa utang dari wilayah-wilayah utama di China mencapai sekitar USD13 miliar atau setara dengan Rp203.567 triliun (kurs Rp15.640 per hari ini). Sebagian dari utang ini berbentuk obligasi publik, dan setiap kegagalan untuk memenuhi kewajiban ini dapat berdampak buruk pada ekonomi secara keseluruhan.(BY)