Pengamat, Gas Bumi Jadi Kunci Pengurangan Impor LPG dan BBM -->

Iklan Muba

Pengamat, Gas Bumi Jadi Kunci Pengurangan Impor LPG dan BBM

Kamis, 17 Oktober 2024

Perluasan jaringan gas akan tekan impor energi


Jakarta – Pemerintah berencana memperluas jaringan gas bumi guna meningkatkan pemanfaatannya, yang diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia. Penggunaan gas bumi yang lebih besar akan membantu mengurangi impor energi, yang selama ini menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).


Pengamat energi, Iwa Garniwa, menyatakan bahwa gas bumi adalah solusi atas masalah impor minyak dan gas (migas) yang masih dihadapi Indonesia saat ini. Ketersediaan dan potensi cadangan energi fosil paling bersih ini di Indonesia sangat besar, sehingga akan sia-sia jika tidak dimanfaatkan secara optimal.


"Pemerintah, termasuk peran Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina, harus dimaksimalkan dalam peningkatan infrastruktur dan jaringan gas bumi. Ditambah lagi, jika proyek-proyek migas seperti Blok Masela dapat segera diselesaikan, produksi gas dan kondensatnya yang tinggi bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri," jelasnya, Kamis (17/10/2024).


Selain untuk industri, pembangunan jaringan gas bagi rumah tangga juga menjadi kunci bagi pemerintahan baru dalam mengurangi impor LPG, yang selama ini membutuhkan subsidi besar.


Lebih lanjut, Iwa menambahkan bahwa gas bumi akan memainkan peran penting dalam mengurangi impor LPG, yang masih mendominasi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang mendukung penggunaan gas alam sangat diperlukan untuk menghindari kelebihan pasokan gas.


"Harus dibangun transmisi gas sebagai tulang punggung. Selain itu, pemanfaatan gas alam untuk gas kota juga menjadi prioritas. Dua program ini harus menjadi fokus pemerintahan Probowo-Gibran," tambahnya.


Iwa juga menekankan bahwa peningkatan infrastruktur gas bumi akan membuka peluang optimalisasi penggunaannya untuk sektor transportasi.


"Salah satu solusi lain adalah mengonversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) menjadi gas (BBG). Jika kita bisa mengonversi 250 ribu barel per hari (BPH) BBM ke gas, maka itu akan saling menutupi. Program penting pemerintah mendatang terkait energi adalah konversi BBM ke gas. Korea Selatan bisa dijadikan contoh keberhasilan," paparnya.


Iwa menjelaskan bahwa impor LPG dan BBM yang terus meningkat akan menjadi tantangan terbesar dalam upaya mencapai kemandirian dan ketahanan energi nasional. Sementara itu, potensi gas bumi dalam negeri belum dimanfaatkan sepenuhnya.


"Kita harus melihat masalah energi ini secara menyeluruh. Saat ini, kita masih mengimpor BBM hingga 1 juta BPH, sementara produksi domestik hanya 600 ribu BPH. Padahal kebutuhan BBM kita mencapai 1,6 juta BPH," jelasnya.


Dalam konteks transisi menuju Net Zero Emission, Iwa menyebut bahwa gas bumi memainkan peran strategis. Optimalisasi energi fosil paling bersih ini adalah langkah yang tepat. "Negara-negara yang tidak memiliki sumber energi fosil cenderung fokus pada energi baru terbarukan. Namun, Indonesia yang kaya akan gas harus memanfaatkannya dengan optimal. Tentu saja, kita tidak meninggalkan rencana menuju energi baru terbarukan, tetapi kita memiliki sumber daya yang harus dioptimalkan," tuturnya.


Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menekankan pentingnya pengembangan jaringan gas bumi untuk rumah tangga (Jargas). Menurutnya, langkah ini penting untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor.


"Kita harus membangun Jargas. Kalau tidak, kita akan terus mengimpor, dan itu akan menjadi beban bagi negara," tegas Bahlil.


Bahlil menjelaskan bahwa tantangan utama saat ini adalah minimnya penggunaan gas bumi, terutama untuk rumah tangga, akibat infrastruktur yang belum memadai. Pemerintah perlu terlibat secara langsung karena investasi yang dibutuhkan cukup besar. "Pipanya belum dibangun. Saya sudah meminta kepada Menteri Keuangan agar pembangunan pipa-pipa ini segera dilakukan, sebagai jalan tol untuk gas bumi," ujarnya.


Terkait LPG, Bahlil menyebut bahwa kebutuhan Indonesia saat ini mencapai 8 juta ton per tahun, sementara produksi domestik hanya 1,7 juta ton per tahun, sehingga sebagian besar LPG harus diimpor. Oleh karena itu, optimalisasi gas bumi harus segera diwujudkan sebagai solusi.


Pengembangan infrastruktur gas bumi ini juga sejalan dengan program Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran, yang menekankan swasembada energi dan ekonomi hijau. Beberapa poin penting dalam swasembada energi termasuk pembangunan infrastruktur terminal penerima gas, jaringan transmisi dan distribusi gas, serta konversi BBM ke gas dan listrik untuk kendaraan bermotor. Optimalisasi gas bumi ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai Visi Emas Indonesia 2045.(BY)