Ikut Pemerintah atau Dibredel? -->

Iklan Muba

Ikut Pemerintah atau Dibredel?

Maifil Eka Putra
Rabu, 18 Desember 2024

Oleh : Niko Ananda Putra *)

Istilah "bredel" mungkin terdengar asing bagi generasi muda masa kini. Kata ini jarang digunakan, bahkan tak banyak dibahas dalam perbincangan publik. Namun, sejarah pers di Indonesia pernah diwarnai oleh praktik pembredelan, yakni penutupan paksa media oleh pemerintah. Dalam konteks kebebasan pers, istilah ini mencerminkan era suram di mana suara kritis sering kali dibungkam demi kepentingan penguasa.


Pembredelan di Era Orde Baru

Istilah "bredel" mencuat pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, terutama pada era Orde Baru. Pemerintah sering kali menutup media yang dianggap terlalu kritis atau menyuarakan pandangan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Tidak hanya media yang kritis, media yang teridentifikasi mendukung ideologi tertentu, seperti aliran kiri (PKI), juga menjadi sasaran pembredelan.

Kasus paling terkenal terjadi pada tahun 1994. Pemerintah membredel tiga media besar: Tempo, Editor, dan Detik. Keputusan tersebut diumumkan oleh Subrata, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika Kementerian Penerangan, atas perintah Menteri Penerangan Harmoko. Alasan utama pembredelan adalah pemberitaan majalah Tempo tentang indikasi korupsi dalam pembelian kapal perang bekas Jerman Timur yang disebut-sebut melibatkan angka fantastis—dari USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar.

Pembredelan ini memicu perlawanan dari para jurnalis. Mereka memprotes tindakan pemerintah yang dianggap sebagai bentuk pengekangan terhadap kebebasan pers. Namun, tindakan ini bukan pertama kalinya terjadi di bawah rezim Soeharto.


Jejak Pembredelan Sebelum Orde Baru

Praktik pembredelan sebenarnya telah ada sejak masa Presiden Soekarno. Pada tahun 1949, salah satu media dari Yogyakarta ditutup karena dianggap terlalu keras mengkritik kebijakan pemerintah. Kemudian, pada tahun 1960, media yang mendukung ideologi kiri juga dibredel. Masa transisi menuju Orde Baru pun ditandai dengan tindakan serupa. Beberapa media seperti Duta Masyarakat, Harian Sinar Harapan, Harian Nusantara, dan Harian Indonesia Raya menjadi korban pembredelan dengan alasan yang beragam.


Masa Kebebasan dan Kemunduran

Setelah Soeharto lengser, (Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN SMDD Bukittinggi Indonesia sempat menikmati masa keemasan. Media dapat memberitakan isu-isu sensitif tanpa takut akan sanksi. Namun, kebebasan ini tak bertahan lama. Meski pembredelan tak lagi menjadi praktik eksplisit, ancaman dalam bentuk lain seperti tekanan ekonomi, kriminalisasi jurnalis, atau pembatasan akses informasi kerap terjadi.

Tindakan pembredelan di masa lalu membuka mata kita tentang pola kekuasaan yang cenderung membungkam kritik. Pemerintah Orde Baru, meskipun dipuji atas stabilitas ekonomi dan pembangunan, tak lepas dari kritik tajam atas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sayangnya, masyarakat saat itu sulit mengakses informasi yang jujur karena banyaknya kontrol terhadap media.


Refleksi untuk Masa Kini

Di era digital ini, kebebasan pers menghadapi tantangan yang berbeda. Media massa kini bersaing dengan media sosial, yang sering kali menjadi ruang untuk informasi tak terverifikasi. Namun, ancaman terhadap kebebasan pers tetap nyata, meski dalam bentuk yang lebih halus, seperti tekanan politik atau hukum.

Sebagai warga negara, kita harus tetap kritis dan mendukung kebebasan pers yang bertanggung jawab. Media yang bebas dan independen adalah fondasi penting bagi demokrasi. Jangan sampai sejarah pembredelan yang kelam terulang, di mana kebebasan berpendapat dibungkam oleh kekuasaan. Pertanyaannya kini: apakah kita akan terus mendukung kebebasan pers, atau memilih diam ketika kebebasan itu perlahan-lahan direnggut?


*) Mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN SMDD Bukittinggi