![]() |
Sejumlah siswa SD menyantap makanan bergizi gratis saat pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) |
Jakarta - Istilah "makan gratis" yang belakangan menjadi sorotan publik perlu dianalisis lebih kritis dan mendalam. Seperti prinsip dalam ekonomi klasik yang menyatakan "tidak ada makan siang gratis", setiap program bantuan tetap memerlukan sumber dana yang besar. Pada dasarnya, bukan berarti bantuan diberikan tanpa biaya, melainkan adanya pengalihan anggaran dalam bentuk "efisiensi anggaran", sebuah konsep yang perlu dipahami lebih jauh mengenai dampaknya.
Saat ini, Indonesia menghadapi kondisi yang cukup menantang. Di satu sisi, terdapat tekanan untuk memenuhi janji politik dalam penyediaan bantuan pangan. Namun, di sisi lain, pemerintah juga harus mengelola beban utang yang tidak ringan. Situasi ini bisa dianalogikan seperti seseorang yang telah membuat janji besar, tetapi kemudian menyadari keterbatasan keuangannya untuk memenuhi janji tersebut.
Yang lebih mengkhawatirkan, kebijakan efisiensi anggaran justru berimbas pada gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berlawanan dengan tujuan awal program bantuan. Hal ini menciptakan dilema, di mana program yang seharusnya membantu masyarakat rentan justru dapat memicu permasalahan ekonomi yang lebih luas.
Beban anggaran yang semakin berat juga berpotensi menimbulkan berbagai dampak lainnya, seperti meningkatnya harga barang (inflasi), menurunnya kualitas layanan publik, hingga terganggunya program pembangunan lain yang tak kalah penting. Fenomena ini mirip dengan solusi jangka pendek yang pada akhirnya dapat memunculkan persoalan jangka panjang yang lebih kompleks.
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan, pengalokasian anggaran yang lebih strategis akan lebih efektif jika diarahkan pada sektor-sektor mendasar. Investasi di bidang pendidikan, misalnya, dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia sekaligus membuka peluang mobilitas sosial yang lebih luas. Demikian pula dengan penguatan sektor kesehatan, yang dapat meningkatkan produktivitas nasional. Program pelatihan keterampilan dan pemberdayaan masyarakat juga berpotensi memberikan dampak ekonomi yang lebih signifikan dibandingkan sekadar bantuan konsumtif.
Filosofi "memberikan kail daripada ikan" sangat relevan dalam konteks ini. Program pemberdayaan yang dirancang secara matang tidak hanya membantu masyarakat memenuhi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga membangun kemampuan mereka agar lebih mandiri secara ekonomi.(des*)